Pernahkah Anda mendengar bahwa di dunia ini hanya 13% dari karyawan profesional yang benar-benar melibatkan diri mereka dalam pekerjaan mereka. Melibatkan diri dalam hal ini di definisikan memiliki keterlibatan emosi, berkomitmen dan berkontribusi terhadap perusahaan dimana mereka bekerja.
Terus, sisanya yang 87% kemana? Apa yang mereka lakukan di kantor sehari-hari?
Angka keterlibatan tersebut mengejutkan, tapi angka itu benar adanya. Angka tersebut didapatkan dari laporan hasil survei tahun 2013 yang dilakukan oleh Gallup, Inc. Sebuah perusahaan amerika yang bergerak dibidang riset dan konsultan manajemen. Mereka terkenal dengan survei-survei yang dilakukan, baik di Amerika maupun melibatkan negara lainnya di dunia.
Kalau kita melihat Amerika sendiri, data terakhir yang dikeluarkan Gallup di bulan Februari 2015, persentase keterlibatan karyawan profesional hanya di angka 32.9%. Apa artinya ini? Negara sekelas Amerika yang dipersepsikan sangat profesional, tapi keterlibatan karyawannya bahkan secara relatif tidak signifikan. Hasil survei Gallup tersebut diperkuat oleh perusahaan konsultan bernama Deloitte, mereka mengeluarkan survei yang kurang lebih menginformasikan hal yang sama dengan nama Deloitte’s Shift Index. Dari versi Deloitte 80% karyawan tidak puas dengan pekerjaan mereka.
WOW…
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Data terkini yang dimiliki bersumber dari survei Gallup tahun 2013 tersebut, menyebutkan Indonesia hanya memiliki 8% karyawan profesional yang memiliki keterlibatan aktif dengan perusahaan dimana mereka bekerja.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Joe Apfelbaum, CEO dan co-founder dari digital marketing agency Ajax Union, aktif sebagai pembicara publik, certified Google Trainer dan penulis buku bisnis, berpendapat bahwa fenomena ini disebabkan karena beberapa faktor. Tidak memiliki tujuan sehingga mengarah pada kehidupan yang reaktif dan berkumpul dengan orang-orang yang salah, dalam definisi memiliki sifat yang negatif adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tidak puas dengan pekerjaannya.
Dan berkaitan dengan tidak memiliki tujuan, Marc Bodnick dari perusahaan konsultan Quora memiliki suatu teori yang menarik. Menurutnya banyak orang yang memilih karirnya sesaat setelah mereka lulus kuliah. Di saat itu, dengan pengetahuan mengenai pilihan karir yang terbatas, kondisi yang “mendesak” mereka segera mendapatkan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan, pada akhirnya pekerjaan pertama mereka seperti dipaksakan. Seperti halnya mengikuti jenjang pendidikan yang sudah jelas, dari SD ya lanjut ke SMP, lalu ke SMA dan seterusnya.
Lulusan tidak diberikan kesempatan dan tidak dididik untuk menyediakan kesempatan untuk berpikir mengenai tujuan hidupnya apalagi untuk berencana untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Ok, ada baiknya kita berpikir lebih dekat dulu, bagaimana dengan Indonesia, apa yang dapat dilakukan bagi sumber daya manusia kita agar memiliki karir yang lebih terencana, memiliki tujuan. Apabila kita dapat mengatasi ini, sumber daya manusia kita akan lebih berkembang. Dengan sumber daya yang berkembang, kontribusi terhadap hasil tentunya akan lebih besar. Kontribusi yang besar akan mengarah pada pembangunan negara kita jauh lebih cepat dan berkelanjutan dibanding negara lain.
Bagaimana keadaan lulusan kita saat ini?
Meskipun tidak ada statistik terperinci tetapi sudah ada isu yang menjadi perhatian dari pelaku dunia pendidikan, seperti yang diutarakan oleh Muslikh SH selaku Direktur Pembinaan Kursus & Pelatihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kata beliau pada hari Pendidikan Nasional yang lalu “Di tingkat pendidikan tinggi sering terdapat ketidakselarasan antara jurusan yang diambil dan bidang kerja”.