Rancangan apakah yang saat ini ada di depanku? Tidak ada sedikit bocoran pun yang Engkau berikan kepadaku. Semuanya hitam dan aku buta untuk menjalaninya. Dengan penuh kesadaran aku mengerti dan memahami betul bahwasanya beban setiap manusia begitu berbeda. Setiap beban memiliki kesulitanya sendiri. Tetapi sekali ini saja, aku ingin mengungkapkan semua beban itu. Jangan sebut aku cengeng karena aku menangis, jangan sebut aku pecundang karena aku menyerah. Tapi inilah saat-saat dimana aku menunjukkan kemanusiaanku sebagai mahluk lemah yang tidak lebih dari sekumpulan debu yang diberikan nafas kehidupan dari yang Ilahi.
Aku Menyerah
Mendapatkan tekanan yang bertubi-tubi di dunia pekerjaan membuatku tidak sanggup untuk bertahan dan memutuskan untuk berhenti. Sekali lagi, ini keputusan finalku. Ketika orang tahu akan itu, sudah pasti banyak sentilan yang singgah di telinga ini. Dizaman susah mencari pekerjaan dengan begitu mudahnya melepaskannya. Sah-sah saja hidup dengan idealis, tapi hidup butuh duit. Bukankah hati tidak dapat dibohongi? Ketika semuanya sudah melewati ambang batas kata hati haruskah perjalanan itu dilanjutkan?
Sekali lagi, aku menyerah. Menyerah kepada situasi yang tidak berpihak kepadaku saat ini. Dengan merendahkan diri aku mengakui kelemahanku. Bukan karena kekuatan dan kehebatanku. Aku terpuruk dan membutuhkan pegangan dan jamahan.
Aku Menangis
Aku mengira jamahan dan pegangan yang kubutuhkan itu ada padanya. Aku tersenyum kepadanya. Setiap perkataannya menjadi madu yang teramat manis. Inilah bukti buah kesabaranku. Dia nyata dan selalu ada. Tetapi hanya sesaat yaaa sesaat.
Kemudian dia melepaskan pegangan itu. Aku menangis. Ini sudah diluar kendaliku. Tiada yang tersisa. Aku kehilangan dua hal sekaligus dalam waktu yang sama. Haruskah aku menutupi air mata ini? Jiwaku bukan malaikat suci. Aku hanya manusia dan manusia menangis ketika bersedih. Airmata berfungsi membasuh setiap kesedihan. Bukan karena cengeng maka aku menangis, tetapi aku hanya ingin menghapus semua kesedihan itu hingga tiada bersisa. Awan kelabu dipelupuk mata biarkan menjadi airmata karena begitulah seharusnya dia bekerja.
Aku Menemukan Sahabatku
Tiada yang lebih berharga dari kehadiran sahabat. Mereka adalah orang-orang yang mendengarkanmu dengan setia setiap kata-kata yang terucap. Yang membantumu berpikir secara logis ketika otakmu tidak dapat bekerja dengan semestinya. Yang mengingatkanmu ketika engkau berada pada jalan yang salah.
Aku menemukan mereka. Orang-orang hebat di hidupku yang dikirim olehNya. Sahabat itu seperti perpanjangan tangan Tuhan yang akan memberikan bahunya untuk tempatmu menangis, memberikan telinganya untuk mendengar. Tidak akan menghakimi, melainkan memberikan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H