Lihat ke Halaman Asli

Jus Jeruk

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Biasanya di setiap obrolan akan diselingi dengan minum kopi. Kami sekumpulan anak muda dengan ceritanya masing-masing menyukai benda hitam pekat itu. Tidak menjadi soal apakah akhirnya akan dicampur dengan krim, mocca atau coklat. Intinya tetap sama, minuman itu adalah kopi. Setiap tegukan kopi melahirkan suatu ide percakapan dan tidak jarang ada perdebatan yang justru akan menghasilkan ide-ide baru. Atau bahkan hanya perdebatan tanpa solusi hanya suatu pandangan yang berbeda yang justru menghasilkan pandangan-pandangan baru. Ini membuktikan kalau hidup itu tidak hanya satu sisi atau dua sisi melainkan banyak sisi yang harus digali.

Tapi itu hanya suatu kebiasaan. Keluar dari kebiasaan itu menarik. Menikmati sesuatu yang baru dan member pelajaran baru. Kini kami duduk melingkar disudut kota yang terkenal dengan jus jeruknya. Jauhkan pikiran bahwa tempat yang kami duduki saat ini sebuah kafe dengan lampu temaramnya dan pelayanan ramah yang harus dibayar dengan tax service. Ini hanya suatu warung tua yang berada di tengah-tengah gedung tinggi hasil kinerja kapitalis. Yang memaksa setiap masyarakat untuk masuk dan menghabiskan rupiah-rupiah yang dikumpulkannya.

Jus jeruk empat gelas. Itu saja yang kami pesan. Ada kerupuk udang yang akan menemani jus jeruk pesanan kami. Kedengaran aneh antara minum jus jeruk diselingi kerupuk udang. Tapi sudahlah, sekali lagi ini tentang keluar dari kebiasaan dan bukan itu yang menjadi pembicaraan. Ini mengenai hidup. Kisah kami berempat setelah sekian lama tidak bertemu dan tidak ada komunikasi yang dikarenakan keegoan kami masing-masing. Sekarang, kami kumpul dengan membawa perubahan-perubahan ajaib yang telah terjadi selama masa kevakuman kami.

Pembicaraan ini menghasilkan satu garis merah. Kami terjebak kepada suatu situasi kerja yang memaksa kami untuk terus terjerat kedalamnya dan melupakan kehidupan sosial, mengabaikan keluarga bahkan waktu untuk diri sendiri. Terlalu takut dengan sosok yang dinamakan atasan. Terlalu silau dengan gaji yang diterima setiap bulan. Tapi harus kehilangan jati diri dan filosofis hidup yang selama ini diagung-agungkan. Deadline, report, year planning, target suatu yang selalu menghantui. 24 jam sehari hidup tergantung dengannya. Waktu untuk keluarga dan persahabatan menjadi hal yang langka. Atas nama loyalitas dan integritas maka urusan kantor dan pekerjaan menjadi hal yang utama. Lelah. Itu yang kami rasakan. Lihatlah wajah kami yang duduk dengan lesu. Kehilangan gairah dan semangat untuk terus hidup. Ini bukan kami yang dulu. Apakah kami sudah kehilangan sesuatu yang disebut cinta? Seorang sahabat berkata,cintailah pekerjaanmu jika kamu tidak dapat mencintai bosmu. Cintai teman-temanmu jika kamu tidak dapat mencintai pekerjaanmu. Cintai computer dan ruangan kerjamu jika kamu tidak dapat mencintai teman-temanmu. Cintai debu-debu yang ada di kantormu jika kamu tidak tidak mencintai computer dan ruangan kerja. Tapi jika tidak dari satu pun itu dapat kau cintai, waktunya bagimu untuk keluar dari tempat itu.

Kesepakatan tercipta. Satu bulan bagi kami untuk menyelesaikan semua masalah administrasi kantor dan melangkah keluar. Menciptakan dan mencari peluang lain tanpa harus mengalami perbudakan. Tetap dapat mengisi hidup dengan segala keceriaannya. Bukankah hidup itu anugerah yang diberikan Cuma-Cuma dan hanya satu kali saja. Saya, kamu, dia hanya individu kecil yang berada di tengah-tengah jagad raya maha luas. Bukan manusia pertama atau manusia terakhir. Hanya individu yang numpang lewat. Sungguh disayangkan jika tidak diisi dengan keceriaan. Sayang jika hanya diisi dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak berasalan.

Kami pun menikmati jus jeruk disertai kerupuk udang. Melepaskan ikatan yang membelenggu. Jus jeruk, asam, manis kadang biji-bijinya yang terikut di dalamnya menghasilkan rasa pahit. Itulah hidup, ketika semuanya tercampur akhirnya menghasilkan kesegaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline