Lihat ke Halaman Asli

BBM Naik atau Tidak Itu Sama (versi Orang Awam)

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di segenap SPBU terdapat antrian panjang yang "mengular", orang saling tuding tentang kemungkinan kenaikan BBM, isu-isu seputar BBM dipolitisir, dll adalah kabar-kabar terhangat cenderung panas selama sekitar sepekan terakhir.

Saya, sebagai orang awam anak bangsa, ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya sederhana tapi penting.

Menaikkan BBM maupun tidak adalah tindakan yang dilematis. Secara politik rentan dipolitisir, secara ekonomi kedua-duanya berresiko berimplikasi sangat luas terhadap keberlangsungan kehidupan seluruh rakyat Indonesia.

Saya pribadi cenderung memilih harga BBM dinaikkan (baca : pengurangan subsidi). Tetapi, jelas ada syaratnya. Dan, karena otak saya terlalu sederhana untuk memikirkan, menganalisa maupun menjabarkan segala sesuatu yang rumit, maka sederhana pula yang ingin saya "jabarkan" di sini.

(Memilih untuk) tidak menaikkan BBM jelas membahayakan APBN kita, mengingat ratusan trilyun uang negara tersedot ke sana. Pun, pihak eksekutor (pemerintah) pengambil kebijakan yang menaikkan BBM akan dengan sangat-sangat mudah memakai alasan ini, yang memang secara hitung-hitungan angka adalah tepat adanya.

Sedangkan (memilih untuk) menaikkan BBM dipandang "menyentuh langsung" hampir seluruh sendi kehidupan rakyat.

Solusinya, menurut saya, adalah: keseriusan pemerintah dalam mengawal setiap program yang berkaitan dengan kompensasi dari kenaikan BBM.

Selama ini, program yang paling mudah kita ingat adalah BLT (bantuan langsung tunai). Secara sederhana, hal tersebut bisa dikatakan "sangat kompensatif" terhadap masyarakat kelas bawah secara ekonomi yang jelas sangat terdampak terhadap kenaikan BBM mengingat hampir tidak ada harga kebutuhan pokok yang tidak terimplikasi kenaikan harga BBM.

Masalahnya, menurut saya lagi, masih banyak "ketidakberesan" penyaluran BLT yang tidak dengan serius ditangani oleh pihak berwenang.

Begitu banyak kita dengar, dimana-mana di seantero negeri, orang-orang yang seharusnya menerima BLT justru tidak mendapatkannya. Pun demikian sebaliknya. Padahal, saya yakin seyakin-yakinnya, tidak dibutuhkan kejeniusan seorang profesor untuk bisa memilah dan memilih siapa saja orang yang berhak mendapatkannya. Di sinilah letak "budaya korup" negeri ini terlihat. Penyaluran BLT sangat bisa dijadikan "lahan basah" bagi para eksekutor di segala jenjang.

Padahal, sekali lagi menurut saya, sangat mudah untuk "membereskan" masalah ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline