Lihat ke Halaman Asli

Hamdani

TERVERIFIKASI

Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Menatap Kembali Kekelaman Dayah Tradisional dan Tantangan Santri Milenial Era 5.0

Diperbarui: 25 Oktober 2021   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah saat ziarah (ANTARA FOTO/ARDIANSYAH via KOMPAS.com)

Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Meski tidak menjadi hari libur dalam kalender libur nasional, namun Hari Santri tersebut bernilai sangat penting karena merupakan sebuah pengakuan dan momentum.

Bukan tanpa alasan bila Pemerintah Jokowi melahirkan Hari Santri Nasional sebagaimana hari-hari besar lainnya, seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Guru, dan sebagainya yang memiliki latar belakang, begitu pula HSN memiliki 'asbabul nuzul-nya'.

Menurut PBNU, 22 Oktober merupakan tanggal yang tepat untuk Hari Santri Nasional. Karena pada tanggal tersebut, perjuangan santri dalam merebut kemerdekaan tampak menonjol.

Konon Kiyai Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang disebut sebagai Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad yang lahir melalui musyawarah ratusan kiyai dari berbagai daerah tersebut merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap Muslim wajib memerangi penjajah. 

Disebutkan dalam fatwanya itu, para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid. Jadi atas dasar semangat menjaga Resolusi Jihad itulah Hari Santri Nasional ditetapkan.

Sehingga semangat melawan penjajah itu pula yang ingin dirawat melalui Hari Santri. Entah masih relevan atau tidak dengan jaman sekarang, yang pasti Hari Santri Nasional tidak jelas manfaat dan dampak yang diharapkan itu apa?

Toh kalau kita lihat tidak ada kebijakan pemerintah yang bernilai luar biasa terhadap ribuan pesantren dan santrinya. Malahan keberadaan santri saat ini dicurigai dan dimarginalkan. Apalagi jika mereka mondok di dayah tradisional seperti di Aceh dan beberapa tempat di daerah lain.

Aceh bisa disebut sebagai negeri 1001 Dayah. Sebutan ini terkait langsung dengan histori kedayahan di Aceh. Selain keberadaan Dayah yang sudah berusia abad, juga sebarannya di seantero Aceh.

Meskipun jumlah dayah yang begitu banyak namun sangat sedikit yang dapat dikategorikan sebagai Dayah modern atau secara disebut pesantren. Bahkan di beberapa daerah sebutan Dayah dianggap berbeda dengan pesantren.

Ini menandakan bahwa Dayah di Aceh masih berciri khas lembaga pendidikan informal berbasis ajaran Islam, yang berbeda sekali dengan pendidikan umum yang mengajarkan ilmu pengetahuan barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline