Perhitungan suara secara rill atau manual atau real count memang belum selesai dilakukan oleh KPU. Namun quick count yang rilis oleh lembaga survei memperlihatkan hasil pemungutan suara berdasarkan metode survei yang mereka lakuka. Meski itu hanya sebagai kegiatan survei namun media mainstream cenderung menggiring sebagai hasil pemilu yang dapat dipercayai.
Dari beberapa lembaga survei yang merilis hasil pemetaan suara mereka telah menempatkan pasangan calon petahana sebagai capres-cawapres dengan perolehan suara 50 persen lebih. Sehingga sebagian pendukung 01 telah merayakan pesta kemenangan.
Tetapi rilis quick count meskipun pada pemilu sebelumnya lazim dilakukan namun sebetulnya menuai kontroversi. Perdebatan tentang keabsahan hasilnya pun sering terjadi. Tak jarang banyak pihak yang menuding lembaga survei yang mengeluarkan quick count tidak menerapkan metodologi yang benar.
Tudingan itu bukan tanpa dasar, apalagi jika itu dirasa merugikan salah satu pihak. Sebab pihak yang dirugikan pun melakukan suvei internal sendiri dan hasilnya ternyata sangat bertolak belakang. Tentu hal ini menjadi bias informasi bagi masyarakat. Lagi pula mengapa publik harus diyakinkan dengan hasil survei lembaga-lembaga itu?
Sedang bagi masyarakat sendiri juga memiliki parameter sendiri untuk menilai paslon mana yang menang. Publik biasanya selalu berpedoman pada hasil rekapitulasi surat suara yang dilakukan oleh petugas KPPS pada setiap TPS, dan itulah yang benar.
Jadi hari-hari ini panggung pemilu 2019 sepertinya telah "dikuasai" oleh media yang secara masif dan terstruktur membentuk opini publik dengan memanfaatkan hasil survei dari lembaga-lembaga yang belum terakreditasi tersebut. Ini sangat membahayakan bagi penyelenggaraan Pemilu Indonesia kedepan.
Ada lagi yang patut disayangkan dalam pesta demokrasi kita kali ini soal persiapan yang lemah dari pihak penyelenggara. Walaupun sudah sejak lama KPU dan Bawaslu diingatkan agar dapat mempersiapkan pemilu 2019 dengan cermat apalagi didukung oleh anggaran yang sangat besar. Kemana dana itu mengalir?
Indikasi lemahnya persiapan Pemilu dapat dilihat pada hari pencoblosan. Katakan saja bagaimana carut marutnya saat pencoblosan pemilu luar negeri. PPLN bahkan seperti kaget dan terkejut ketika melihat antusiasme warga Indonesia di negara tersebut yang datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya.
Karena tidak adanya persiapan yang baik, akibatnya proses tersebut berjalan dengan buruk. Mulai dari DPT yang memiliki nama ganda, distribusi surat suara yang terlambat, sampai kekurangan kertas surat suara. Kenapa bisa? Sehingga banyak calon pemilih yang kecewa karena mereka kehilangan hak pilihnya "dirampas" oleh penyelenggara.
Mimpi buruk penyelenggaraan pemilu 2019 bukan hanya terjadi di satu negara. Hampir semua PPLN di berbagai negara menuai kritik dan pesimisme WNI. Kekecewaan yang mereka alami menjadi pengalaman pahit betapa penyelenggaraan pemilu negeri ini masih jauh dari harapan. Ini belum lagi kita bicara soal kecurangan pemilu.
Saya termasuk orang yang tidak suka menggunjing atau menciptakan kebohongan. Saya sendiri harus bertengkar dengan KPPS gegara sudah ada yang mencoblos surat suara atas nama saya sesuai dengan DPT.