Pergesaran diskursus politik pada pilpres 2019 kian melebar. Subtansi politik kini tidak lagi mengikuti ilmu politik yang diajarkan oleh ilmuan politik.
Konseptual politik bukan lagi menjadi dasar pemikiran para politisi Indonesia. Fenomena ini termasuk gejala baru model berpolitik di Indonesia yang mulai terjadi pada pilpres 2019.
Menurut Roger F. Soltou ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu, hubungan antara negara dengan warga negara, hubungan antara negara dengan negara lain.
Jadi berdasarkan pandangan Soltou berpolitik seyogyanya dekat dengan diskursus kenegaraan.
Namun mengapa politisi Indonesia terutama capres enggan berbicara tentang negara dan bangsa? Bahkan ketika salah satu kubu menawarkan bicara tentang negara dan bangsa, tetapi kubu yang lain menarik diri?
Ironinya kubu tersebut lebih suka berbicara hal-hal diluar konteks politik berdasarkan ilmu politik? Apakah politisi Indonesia tersesat?
Apabila kita berkaca pada literasi politik yang banyak dipelajari oleh mereka yang mendalami ilmu politik, kesesatan politik itu dapat terjadi ketika orang-orang tidak paham tentang ilmu politik.
Sehingga prilaku mereka cendrung tidak sejalan dengan esensi politik sebagai suatu kemampuan untuk berpikir tentang konsep negara, kekuasan, dan kebangsaan.
Pada tataran politik praktis distorsi politik juga berpotensi terjadi. Dalam bahasa sederhana mungkin bisa dikatakan 'lain yang dikatakan, dan lain pula dilakukan,' dan itulah sikap yang sekarang ini melekat pada capres kita yang sedang bersaing pada pilpres 2019.
Misalnya pemerintah mengajak masyarakat agar bersuka ria menyambut pesta demokrasi, tidak boleh bersikap intoleran dengan yang tidak sama pilihan.
Tetapi pada kenyataannya, petahana yang notabene pelaksana pemerintahan justru selalu mengulang-ulang kalimat yang memicu ketegangan dikalangan masyarakat. Sehingga memancing sikap intoleran kelompok tertentu.