Lihat ke Halaman Asli

Hamdani

TERVERIFIKASI

Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Masihkah Kita Memegang Prinsip "Luber Jurdil" Dalam Melaksanakan Pemilu?

Diperbarui: 11 Oktober 2018   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kpu.go.id

Dalam mengimplementasikan sistim demokrasi yang dianut oleh negara kita sesuai dengan konstitusi. Telah mengharuskan Pemerintah Indonesia melakukan pilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun. Pemilu tersebut merupakan mekanisme pergantian kepemimpinan nasional lima tahunan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Sebagai salah satu negara demokrasi besar dunia, Indonesia selalu menjadi perhatian negara-negara lain sebagai acuan atau model pelaksanaan sistim demokrasi yang baik dan berkualitas. Hal ini dapat dilihat ketika menjelang pelaksanaan pemilihan umum selalu ada tim pemantau dari negara-negara asing yang ingin melihat secara langsung bagaimana pesta demokrasi Indonesia berjalan.

Meskipun hari pencoblosan pemilu presiden dan legeslatif baru akan dilakukan pada bulan April 2019 nantinya, namun tahapan pemilu itu sendiri sudah mulai berjalan. Bahkan dalam waktu dekat, sudah memasuki masa kempanye para calon.

Pesta demokrasi lima tahunan ini tergolong kegiatan sakral dan maha penting dalam sistim ketatanegaraan Indonesia. Seyogyanya tidak boleh ada hal yang dapat mencederai segala nilai-nilai kesakralan tersebut. Misalnya tidak boleh ada darah yang tumpah, korban nyawa, sampai gangguan yang lain.

Semestinya dan seharusnya pemilu itu dilaksanakan dengan penuh khidmat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, merdeka, kebebasan menentukan pilihan, dan rahasia. Prinsip ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia yang sudah dijalankan sejak dulu.

Dengan memegang teguh prinsip atau asas pemilu Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) atau yang kita sering dengar dengan istilah Pemilu Luber Jurdil dapat membuat pilpres dan pileg Indonesia semakin berkualitas.

Namun menurut amatan saya dalam beberapa kali pemilu paska orde reformasi. Azas Luber Jurdil mulai terkikis atau tergerus, tampak memudar dan seakan-akan tidak ada lagi kerahasiaan. Banyak bukti yang kita dapatkan dilapangan untuk menguatkan argumentasi ini.

Meskipun tidak dapat kita katakan masif dan terstruktur, namun di banyak daerah telah terindikasi bahwa prinsip luber jurdil sudah berkurang bahkan tidak adalagi kejujuran, kebebasan menentukan pilihan, dan bahkan terjadi intimidasi terhadap para pemilih. Celakanya peristiwa seperti ini terjadi didalam bilik tempat pemungutan suara (TPS).

Fakta ini adalah bukti nyata bahwa penyelenggaraan pemilu kita sudah berubah dari prinsip dasar yang disepakati. Masyarakat juga sudah mengganggap pemilu itu hanya pura-pura atau permainan politik sekelompok elit penguasa atau golongan tertentu saja. Bukan lagi mekanisme sakral prosesi pergantian kepemimpinan nasional yang jujur, bersih, dan adil.

Lihatlah sekarang ini. Fenomena dukung mendukung kian vulgar diperlihatkan oleh para simpatisan, partai pendukung, termasuk juga kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya. Dengan mengatasnamakan demokrasi, mereka tidak lagi mempertimbangkan prinsip Luber Jurdil.

Barangkali sikap tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang. Namun apakah hal itu bernilai baik terhadap kualitas pemilu? Dan bagaimana dampaknya terhadap sosial politik masyarakat? Apakah tidak sebaiknya soal dukung mendukung itu menjadi domain parpol pengusung saja?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline