Motivasi seseorang dalam bekerja salah satunya adalah faktor gaji. Setiap karyawan apalagi pada posisi staf tentu menginginkan gaji yang sesuai. Meskipun terkadang besaran gaji yang diberikan oleh pemberi kerja tidak dapat sepenuhnya memenuhi seluruh kebutuhan hidup.
Persoalan gaji memang sangat krusial. Banyak pimpinan perusahaan selalu membahas masalah gaji karyawan mereka secara intens dalam rapat-rapat penting. Hal ini menandakan bahwa masalah salary tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dengan adanya perhatian para manajer dalam soal pendapatan karyawannya, berarti perusahaan tersebut peduli pada kesejahteraan para pekerja. Akan tetapi sampai menit ini masih banyak para pekerja yang masih mengeluh dengan besaran gaji yang mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Diantara keluhannya adalah proporsi gaji yang diberikan tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diembankan kepada mereka. Bahkan masih ada gaji karyawan yang masih dibawah standar minimal. Kondisi ini memungkinkan tingkat kesejahteraan para karyawan mengalami penurunan. Akibatnya bisa menurunkan semangat kerja dan produktivitas para pekerja.
Namun disisi lain justru para manajer atau pimpinan perusahaan menikmati gaji besar dan disertai fasilitas pendukung lainnya yang diberikan oleh perusahaan. Berbanding terbalik dengan apa yang diberikan kepada staf dan karyawan non struktural.
Nah, bila dilihat dari sudut pandang etika, pantaskah perbedaan gaji yang cukup timpang ini berlaku pada sebuah perusahaan? Dengan begitu, bolehkah staf mengetahui besaran gaji pimpinan mereka?
Terkadang itu gaji ibarat mata pisau yang bermata dua. Pada sisi atas dapat membuat karyawan semakin termotivasi untuk bekerja bila kompensasi yang mereka terima berbanding luurs dengan beban kerja yang diberikan. Sebaliknya bisa menjadi demotivasi apabila gaji tersebut dirasakan tidak adil atau timpang antara satu dengan yang lain jika tidak berdasarkan analisis yang tepat.
Ketimpangan dalam memberikan gaji dapat juga menciptakan kecemburuan sosial dikalangan para karyawan. Tidak salah memang jika gaji pimpinan lebih besar dari gaji staf, namun jika terlalu jauh jaraknya dapat menciptakan jurang dan kesenjangan dalam sebuah perusahaan.
Munculnya ketidaksenangan para karyawan kepada atasannya yang bergaji besar bermula dari ketimpangan penerimaan gaji. Padahal para staf pun membutuhkan energi yang besar untuk berusaha mencapai target-target perusahaan yang hasilnya nanti dinikmati oleh para pimpinan dan pemilik perusahaan.
Sehingga dengan alasan tersebutlah, maka banyak perusahaan yang tidak transparan soal berapa gaji seorang pimpinan mereka. Sering informasi besaran gaji pimpinan tidak dipublikasikan atau diinformasikan kepada staf dan karyawan. Padahal secara aturan, mestinya standar gaji perlu diketahui oleh seluruh stakeholder perusahaan termasuk para staf.
Barangkali karena budaya orang timur yang mengatakan soal gaji adalah soal pribadi, sehingga tidak layak gaji seseorang diumumkan secara luas meskipun di internal perusahaan. Seolah-olah tabu bagi para staf untuk mengetahui gaji bosnya.