Lihat ke Halaman Asli

Hamdani

TERVERIFIKASI

Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Jokowi dan Prabowo, Pilihan Politik ataukah Pilihan Hati?

Diperbarui: 23 Agustus 2018   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolase calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 (foto: tribunnews.com)

Sebagai rakyat biasa yang gandrung terhadap isu politik tanah air, terkadang kita sering dibuat bingung oleh pemberitaan media tentang sosok atau kandidat tertentu. Baik dari segi kontennya maupun profil yang ditampilkan. 

Media juga terkadang suka "memutarbalikkan fakta" jika itu kebetulan kandidat yang mereka dukung. Sering pula secara diam-diam memberikan opini yang tidak berimbang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi publik.

Rakyat tentu belum dapat melupakan bagaimana awal-awal demokrasi di alam reformasi terjadi di Indonesia. Bagaikan demokrasi yang kebablasan, lepas tanpa kendali, yang seolah-olah boleh melakukan apa saja jika itu atas nama politik.

Lihat saja bagaimana perilaku politik yang dipertontonkan oleh para elit politisi, terutama "pemilik" partai politik. Bahkan sangat jelas dapat dilihat pada perilaku komunikasi yang mereka tampakkan ke publik.

Pola komunikasi yang cenderung kasar tanpa etika, dusta dan menjurus kepada saling fitnah antar sesama politisi yang berbeda pilihan dan pandangan. Seakan itulah yang disebut dengan politik. Boleh menyerang setiap yang berseberangan dengan cara apa saja.

Ditambah lagi situasi tersebut didukung dan dimanfaatkan oleh media yang mental penjilat dengan mengolah dan "menggoreng" menjadi berita versi mereka untuk meraup keuntungan politik dan bisnis. Bisa jadi itu adalah pesanan sang kandidat dengan dijanjikan benefit timbal balik atau memang mereka saling mendukung. 

Melalui tangan media, publik dibuat pikun, perasaan publik diaduk-aduk, logika berpikir sehat dicoba gantikan dengan logika berpikir idiot. Mesin media bekerja demikian efektif untuk "membodohi" rakyat dengan cara 'ilmiah', mengabaikan nalar bijak dan menghancurkan penghormatan terhadap informasi itu sendiri.

Yang sebenarnya, bukankah media itu untuk mencerdaskan? Dalam posisinya yang tidak berafiliasi sedikitpun dengan kepentingan politik kelompok tertentu? Sehingga keberadaan dan fungsi media dapat ditempatkan pada tempat yang ideal dalam edukasi politik masyarakat.

Namun faktanya tidaklah demikian, sejak era reformasi, media sering  menjadi alat politik para elit. Apalagi pemilik media itu sekaligus juga 'pemilik' partai politik. Maka daya pemanfaatan media tersebut demikian masif dalam upaya pembentukan opini dan pencitraan diri yang kadang sangat tampak sebagai bagian dari strategi pembodohan publik.

Berlebihannya tindakan media yang mungkin bisa dikatakan sangat melunjak pada pemberitaan sang 'bintang' atau 'idola' yang mereka ciptakan juga turut dipengaruhi oleh karena ada pembiaran dari pemerintah.

Terutama stakeholder yang secara langsung diberikan wewenang oleh negara untuk memantau dan mengawasi media yang diduga melakukan pelanggaran terhadap undang-undang penyiaran publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline