Inflasi di perdesaaan melampaui inflasi nasional, yang terutama disebabkan kenaikan harga bahan pangan. Padahal dari 25,95 juta penduduk miskin, sebanyak 15,81 juta orang berada di desa.
Tanpa perlu melibatkan diri pada polemik jumlah orang miskin di Indonesia yang diklaim oleh beberapa pihak. Apakah naik dua kali lipat atau apakah turun dua kali lipat.
Yang jelas tingkat kemisikinan di Indonesia selalu dapat dilihat secara nyata. Tidak memerlukan data dengan sajian grafik yang sangat indah untuk menggambarkan bagaimana kondisi kemiskinan di negeri yang kaya sumber daya alam ini.
Untuk membuktikan kemiskinan apakah nyata atau semu di Indonesia. Anda tidak perlu bersusah payah. Cukup Anda masuk ke sebuah perkambungan dan buka mata, maka Anda tinggal mengumpulkan data berapa banyak jumlah orang miskin yang ingin dicatat.
Fenomena orang miskin dan kemiskinan sepertinya sudah menjadi lumrah. Para pemimpin pun terlanjur menganggap itu adalah hal biasa. Celakanya, ada pemimpin yang mengatakan bahwa kemiskinan memang tidak akan ada habisnya.
Artinya kemiskinan memang sulit dihilangkan. Sehingga berbagai upaya apapun dilakukan, kemiskinan tidak bisa terpisahkan dengan Indonesia. Maka tidak salah jika tuduhan para pengamat, memang kemiskinan itu untuk dipelihara. Sebagai komoditas politik para politisi dan penguasa.
Menelaah sajian Kompas cetak pada edisi Kamis (2/8/2018) tentang tingkat kemiskinan di perdesaan yang disebabkan oleh faktor makro ekonomi. Menggunakan data bersumber dari Biro Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan.
Terserah bagaimana metodologi suvey maupun riset yang dilakukan oleh para peneliti di BPS. Yang pasti sebagai rakyat Indonesia kita patut bertanya pada diri sendiri. Mengapa kemiskinan selalu terkosentrasi di perdesaan?
Padahal saat ini berdasarkan Undang-undang Desa, pemerintahan desa diakui sebagai daerah otonom desa yang dapat mengelola kekayaan alam didesa.
Melalui pelimpahan kekuasaan, pemerintah desa dapat mengatur pemerintahan sendiri sesuai visi dan misi masyarakatnya. Selain itu pemerintah desa juga mendapatkan anggaran yang bersumber dari APBN sebagai wujud azas redistribusi ekonomi dari negara.
Maksud yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak mungkin kemiskinan di desa terjadi begitu kultural tanpa adanya penyebab secara subtansial. Bisa saja penyebab itu terjadi dalam wujud salah pengelolaan dana desa.