Sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas semestinya mampu menjadi negara produsen produk-produk pertanian. Sehingga komoditas pangan dan produk pangan lainnya kebutuhan masyarakat tidak perlu diimpor. Bahkan sebaliknya, Indonesia mampu mengekspor.
Namun sayangnya sampai hari ini Indonesia masih melakukan impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Salah satu komoditas yang rajin diimpor oleh Indonesia adalah beras. Sangat ironi memang, negara agraris, memilki lahan pertanian yang luas, air dan curah hujan mencukupi, jumlah petaninya sangat banyak. Namun berasnya diimpor.
Salah satu penyebab terjadi impor beras dan beberapa jenis bahan pangan lainnya, menurut Siswono Yudo Husodo karena Indonesia tertinggal dalam kemampuan produksi dan harus memenuhinya dengan impor. (Kompas, 2/8/2018).
Disisi lain menurut Pak Sis (begitu akrab dipanggil) dalam tulisan opininya tersebut menukilkan bahwa kelas menengah kita tumbuh pesat, dari 45 juta orang pada tahun 1999 (25 persen penduduk) menjadi 170 juta orang atau 70 persen penduduk pada 2015 dan diperkirakan The Boston Consulting mencapai 141 juta orang pada 2020.
Dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan lebih tinggi, mereka menuntut pangan, pakaian dan perlengkapan sehari-hari dengan mutu yang tinggi dan sarana canggih yang belum bisa kita produksi sendiri, menjadi faktor pendorong impor barang konsumsi.
Dalam kondisi dan situasi tersebut pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit, antara meningkatkan kesejahteraan petani dengan memaksimalkan pendapatan yang mereka terima dan melakukan impor dengan harga yang lebih rendah sekaligus memukul penghasilan petani.
Kenyataannya kini kesejahteraan petani Indonesia pada umumnya dan petani di Provinsi Aceh pada khusus sangat buruk. Indikator ini dapat dilihat pada indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang baru saja dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat pertumbuhan kemampuan/daya beli petani.
NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, semakin kuat pula tingkat daya beli petani.
Melalui NTP kita dapat melihat gambaran kemampuan petani dalam upaya memperoleh tingkat kesejahteraan mereka dalam usaha pertanian. Bahkan NTP mampu menjadi penjelas atas daya tukar produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan barang-barang lainya yang barangkali dihasilkan oleh industri manufaktur.
Berdasarkan laporan BPS Provinsi Aceh (1 Agustus 2018), hasil pemantauan harga-harga perdesaan beberapa daerah di Provinsi Aceh pada Juli 2018, dihasilkan NTP sebesar 94,00 atau mengalami penurunan indeks sebesar 0,88 persen. Hal ini disebabkan indeks yang diterima petani (It) menurun sebesar 0.07 persen, sedangkan indeks yang dibayar petani (Ib) meningkat sebesar 0,82 persen.