Dalam kunjungannya ke Banda Aceh, Selasa (16/4/2018) mantan menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman RI, Dr. Rizal Ramli (RR) mengaku "bingung melihat Aceh dari luar, Aceh yang masyarakatnya dikenal berani dan lahannya subur, dikasih uang banyak kok nggak jadi apa-apa" (Serambi Indonesia, 16 April 2018). Pernyataan ini beliau sampaikan pada acara Refleksi 10 Tahun Dana Otsus yang diadakan di Kampus Universitas Muhammadiyah Aceh. Lebih lanjut Rizal Ramli mengatakan dengan dana Otsus yang demikian besar namun perekonomian Aceh hanya tumbuh 4,2 persen atau dibawah nasional yang menargetkan 5,4 persen. Seharusnya pertumbuhan ekonomi Aceh bisa melebihi target nasional.
Pernyataan Rizal Ramli cukup sederhana dan mudah dipahami, tidak perlu harus berpendidikan tinggi untuk memahami kritikan tersebut. Artinya bahwa apa yang dikatakan oleh RR hampir dapat dipastikan benar adanya. Pernyataan Rizal Ramli meskipun sederhana namun secara tidak langsung merupakan tamparan keras bagi gubernur dan pejabat lainnya yang pernah memimpin Aceh.
Kondisi Aceh hari ini dalam konteks pembangunan belum begitu menggembirakan baik pembangunan fisik, pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia masih tertinggal. Tujuan akhir (outcome) dari dana Otsus belum tercapai. Misalnya dalam bidang pendidikan, Aceh masih menduduki ranking paling bawah dalam kontestasi prestasi pendidikan tingkat nasional, dibandingkan dengan anggaran yang besar, maka dengan begitu dapat dikatakan Pemerintah Aceh gagal membangun dunia pendidikan dalam 10 tahun terakhir.
Munculnya persoalan ke-tidak-puas-an masyarakat terhadap dana Otsus ini bukan baru kali ini saja, namun sudah sejak lama. Bahkan dugaan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan kerap disuarakan oleh media massa seperti disinyalir oleh Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Dr Taqwaddin, MS. "mengingatkan agar realisasi dana tersebut harus tepat sasaran, sesuai sesuai dengan program dan kebutuhan, dan tidak disalahgunakan". (Serambi Indonesia, 18 Maret 2018).
Bila kita lihat ke belakang, kekecewaan terhadap pengelolaan dana Otsus juga sering menjadi buah bibir para pengamat pembangunan di daerah ini. Misalnya bagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2010, hasil Pansus DPRA dan Badan Anggaran DPR RI terhadap penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh, menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Pemanfaatan dana otsus belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan (Serambi, 5 November 2010). Dari temuan Pansus DPRA, disinyalir banyak proyek otsus tidak tepat sasaran, tidak tepat peruntukkan, tidak tepat waktu, dan tidak tepat pelaporan.
Laporan Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) mengatakan bahwa melimpahnya kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Aceh belum berpengaruh pada perbaikan kesejahteraan rakyat Aceh, (Tempo.co, 11 Januari 2016). Hasil temuan ini telah terbukti dengan indeks kemiskinan, Aceh menempati nomor urut pertama sebagai provinsi termiskin di Sumatera dan nomor enam secara rasio nasional. Maka tingkat pengangguran pun masih tergolong tinggi meskipun cenderung menurun. Kepala BPS Aceh Wahyudin mengatakan "Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh pada Agustus 2017 mencapai 6,57 persen, lebih rendah 0,82 persen dari TPT bulan Februari 2017 yang sebesar 7,39 persen, dan lebih rendah 1,00 persen dari TPT bulan Agustus 2016 yang 7,57 persen,"
Dana Otsus Salah Urus
Tidak sedikit masyarakat dan pengamat ekonomi dan pembangunan Aceh mensinyalir bahwa penyebab gagalnya Aceh Bangkit meskipun sudah mendapatkan kucuran dana besar melalui fasilitas Otsus adalah karena dana tersebut salah urus. Menyebabkan pula salah sasaran sehingga tidak ada multiplier effect terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Aceh yang biasanya mengelola anggaran yang sedikit, namun kemudian harus mengelola anggaran yang demikian besar dengan kapasitas sumber daya lainnya yang sangat terbatas.
Terkait dengan tidak baiknya pengelolaan dana Otsus ini, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dalam (Cahyono, 2016) menduga penggunaan dana otonomi khusus Aceh tidak bersih alias terindikasi korupsi. Selama tiga tahun terakhir penggunaan dana otonomi tidak tanggung-tanggung sebesar 3,5 triliun rupiah per tahun selalu bermasalah.
Selama ini, jika dilihat realisasi pengelolaan dana Otsus di lapangan selalu bermasalah, ditambah kurangnya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses pekerjaan di lapangan. Tidak mengherankan bila hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menyatakan, Provinsi Aceh mendapat skor terburuk dalam otonomi daerah. Pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Dr. Amri, SE.,M.Si mengatakan, tak maksimalnya upaya pengentasan kemiskinan Aceh berkaitan dengan pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan oleh pemerintah pusat karena salah urus (https://modusaceh.co, 24 Agustus 2016).
Silang Pendapat