Pagi ini ketika membuka Facebook, saya tergelitik dengan sebuah postingan bernuansa SARA yang ditulis oleh Jonru Ginting, seorang mantan wartawan kompas yang kini aktif menulis berbagai buku, dan aktif membela PKS (kadang secara membabi buta), entah beliau salah satu kadernya atau bukan.
Saya biasanya malas menanggapi sebuah tulisan yang saya anggap konyol, namun berhubung Pak Jonru ini cukup dikenal oleh masyarakat, punya banyak pengikut, maka saya merasa wajib untuk memberikan sanggahan jika ada tulisannya yang saya anggap tidak sesuai. Bukan semata-mata untuk mengoreksi atau mengubah pandangan beliau (yang saya yakin sangat sulit karena dilihat dari usianya), melainkan agar pengikutnya itu tidak ikut terjebak dalam pemikiran yang sesat.
Berikut adalah status yang ingin saya tanggapi kali ini:
Oke, sebelumnya saya perlu tegaskan bahwa saya bukan orang yang anti diskusi masalah SARA, saya biasa melakukannya dan saya kerap melakukan kritik dan mengungkapkan ketidaksukaan secara terbuka pada ajaran agama tertentu, jadi poin terakhir saya setuju, tapi tidak dengan soal bagaimana memandang demokrasi.
Kesalahan terbesar dari pemikiran Pak Jonru terlihat dari kalimat:
Dalam demokrasi, seharusnya mayoritaslah yang memimpin.
Sungguh lucu kalimat ini, dengan logika seperti itu maka kita bisa mengatakan bahwa untuk masyarakat yang mayoritas penduduknya bodoh, maka pemimpinnya juga harus bodoh, untuk masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah perempuan, maka perempuan lah yang harus memimpin, untuk masyarakat yang mayoritas miskin maka pemimpinnya harus miskin. Artinya kita selama ini telah salah memilih pemimpin.
Saya punya pandangan yang berbeda, bagi saya:
Dalam demokrasi, pemimpin yang terpilih bukan mewakili siapa masyarakatnya melainkan apa yang diinginkan oleh masyarakatnya
Dalam artian sekalipun masyarakatnya bodoh, namun jika mereka menginginkan pemimpin yang cerdas maka kemungkinan untuk orang yang cerdas terpilih sebagai pemimpin semakin besar, begitu juga dengan agama, sekalipun masyarakatnya mayoritas muslim namun jika mereka menginginkan figur yang tegas, cerdas, sederhana, dan pluralis, maka tokoh dengan figur itulah yang akan menjadi pemimpin, entah tokoh itu seorang muslim atau tidak, bukan menjadi soal.