Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Filsafatku... (Nilai Pengetahuan)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap manusia tentu mengetahui beberapa hal dalam kehidupannya, dan dalam dirinya terdapat bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan termasuk pengetahuan tentang hukum alam.

Pengetahuan hukum alam dianggap memiliki nilai kebenaran, jika pengetahuan itu dicapai dengan melalui praktek dan pengalaman, serta dapat menunjukkan realitas obyektif. Tak ada satupun di alam ini yang tidak diketahui. Akan tetapi alam mengandung sesuatu yang masih belum diketahui, dan akan terungkap serta akan diketahui lewat perantara metode ilmiah yang praktis. Pengetahuan tersebut, dikuatkan oleh filsafat marxisme yang percaya akan kemampuan pikiran manusia untuk mengungkapkan realitas obyektif. Namun demikian pernyataan tersebut disangkal oleh Kant dengan konsepnya bahwa sesuatu yang ada di dalam dirinya, tak terjangkau pengetahuan.

Pada abad ke 5 SM, terjadi perdebatan sengit yang menolak terhadap pemikiran yunani, oleh gelombang sofisme. Pada saat itu pandangan-pandangan filosofis dan asumsi-asumsi non-empirikal saling menghamtam satu sama lain, sementara pemikiran filosofis belum mencapai kematangan intelektual yang tinggi, sehingga terjadi kerancauan pemikiran dan kecemasan yang mendalam. Dalam suasana yang penuh dengan jiwa skeptis dan berontak terhadap wewenang akal itu, muncullah Descartes yang mempunyai andil besar dalam mengembalikan derajat tertentu keyakinan kepada kecenderungan filosofis.

Rene Descartes (1596-1650)

Ia adalah tokoh resionalis dan pelekat dasar kebangkitan filsafat di Eropa, pendapatnya bahwa karena gagasan-gagasan saling berlawanan, maka gagasan-gagasan itu merupakan ajang kesalahan, begitu juga persepsi inderawi saling menipu, jadi adanya keragu-raguan terhadap kebenarannya. Oleh karena itu ia memulai filsafatnya dengan badai skeptesisme. Namun demikian, ia mengecualikan satu kebenaran yang tidak digoncang badai skeptisisme, yaitu pikiran yang realitas aktual. Keraguan tidak akan mempengaruhinya, kecuali dengan memperkuat sta-bilitas dan kejelasan, jadi berpikir itu adalah suatu kebenaran yang pasti. Dia berusaha keluar dari konsepsi menuju eksistensi, dan dari segi subyektifitas ke obyektifitas, membuktikan eksistensi dirinya dengan realitas, dengan menyatukan “aku berfikir, maka aku ada”.

Pada saat pemaparan pikirannya dengan “aku berfikir, maka aku ada”, ia tak merasa perlu menerima bentuk-bentuk silogisme dalam logika, malah ia percaya bahwa pengetahuan mengenai eksistensi melalui pikirannya, merupakan masalah intuitif yang tak memerlukan penyusunan bentuk silogisme dan penerimaan akan premis-premis minor dan mayor, karena itu intuiti maka tidak perlu diragukan lagi. Dengan demikian ia menambah proposisi yang lain pada proposisi intuitif yang pertama dan membenarkan bahwa sesuatu tidak mungkin ada, dari ketiadaan.

Descartes menyusun pemikiran manusia dalam tiga kelompok, yaitu :


  1. Gagasan-gagasan instinktif atau fiksi yaitu gagasan-gagasan alami manusia yang tampak sangat jelas, seperti gagasan tentang Tuhan, gerak, perentangan dan jiwa.
  2. Gagasan-gagasan samar, yaitu yang terjadi dalam pikiran karena adanya gerak yang datang pada indera dari luar, hal ini tidak mempunyai asas di dalam pikiran manusia.
  3. Gagasan-Gagasan yang berbeda-beda, yaitu yang disusun manusia dari gagasan-gagasan mereka yang lain seperti gagasan bahwa seseorang manusia mempunyai dua kepala.

Selanjutnya ia memberikan penjelasan bahwa gagasan tentang Tuhan adalah gagasan yang mempunyai hakekat obyektif, karena setiap pikiran fitri di dalam alam manusia adalah pikiran yang benar dan mencerminkan suatu hakekat obyektif, pikiran-pikiran rasional pada kelompok pertama tersebut di atas, adalah berasal dari Tuhan. Oleh karena itu Descartes percaya kepada pikiran-pikiran fitri saja, bukan pikiran yang muncul karena sebab-sebab dari luar.

Dengan demikian ia membagi pikiran tentang materi menjadi dua bagian, yaitu :
Pikiran-pikiran yang fitri, seperti gagasan tentang perentangan( ekstensi).
Pikiran-pikiran yang maujad (kemudian) yang mengekspresikan reaksi-reaksi tertentu dari jiwa, karena pengaruh-pengaruh luar, seperti gagasan tentang suara, bau, rasa panas, dan wawasan. Bagian pertama adalah kualitas-kualitas pertama yang hakiki, dan bagian kedua adalah kualitas-kualitas kedua yang tidak mengekspresikan hakekat-hakekat obyektif, tetapi menunjukkan reaksi subyektif.

Komentar saya mengenai pemikiran Descartes :

Dengan menekankan pada pentingnya self-awareness terhadap pengalaman kita, cogito ergo sum. Descartes menjadi filsuf pertama yang menekankan kekuatan faktor internal manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat dipercaya, dibandingkan dengan faktor eksternal. Ide-ide spritual, pemahaman tentang dimenasi waktu dan ruang, semua bersumber dari kekuatan internal, berbeda dari tradisi berpikir filsuf sebelumnya yang menganggap pemikiran ini berasal dari lingkungan eksternal. Ia meletakkan keyakinan kepada subjek yang berpengetahuan dan meragukan objek pengetahuan yang dipersepsi oleh indera, ia masuk dalam kerumitan membedakan alam mimpi dan alam nyata karena keduanya merupakan tipuan baginya. Untuk itu ia membatasi pemikiran skeptisnya dengan mencoba menggapai kebenaran eksistensi Tuhan agar eksistensi pengetahuan manusia terjamin kebenarannya. Namun manusia tidak bisa membuktikan eksistensinya melalui pikirannya, karena pikiran mutlak menetapkan eksistensi sang pemikir mutlak, bukan pemikir khusus. Selanjutnya Descartes menjelaskan bahwa pikiran-pikiran yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia itu menunjukkan hakekat obyektif. Nah, jika pikiran-pikiran itu tidak benar, maka berarti Tuhan menipu, dan mustahil Tuhan menipu. Sesungguhnya pikiran fitri yang terlepas dari kesadaran manusia, bersifat actual, dan langsung mencapai gagasan itu sifatnya belum bisa dikatakan mutlak, melainkan hanyalah potensi pemikiran, ia bukanlah aktualitas sehingga belum bisa ditetapkan objektivitasnya.

John Locke (1632-1704)

John Locke adalah filosof Inggris, tokoh teori empirikal. Pendapatnya bahwa pengetahuan itu terbagi atas :


  1. Pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang dapat dicapai, tanpa perlu mengetahui sesuatu yang lain, seperti satu adalah separuh dua.
  2. Pengetahuan reflektif, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin didapat, tanpa bantuan informasi sebelumnya, contoh sudut sebuah segitiga adalah sama dengan dua sudut siku-siku (180 0)
  3. Pengetahuan yang merupakan hasil dari pengetahuan empirikal atas suatu obyek yang sudah diketahui

Menurut Locke bahwa pengetahuan intuitif adalah pengetahuan hakiki yang merupakan nilai filosofis yang sempurna, begitu juga pengetahuan reflektif dapat dijelaskan dengan penalaran yang valid. Sedangkan pengetahuan emperikal tidak mempunyai nilai filosofis, meskipun bernilai dalam kehidupan praktis.

Segenap pengetahuan diturunkan dari indera dan pengalaman inderawi, bahkan pengetahuan intuitif pun diturunkan dengan cara demikian. Indera adalah sebab pokok pengetahuan. Oleh karena itu kesimpulan alamiahnya adalah skeptis mutlak terhadap nilai setiap pengetahuan manusia. Esensi dan realitas dasar setiap pengetahuan itu hanyalah persepsi inderawi yang didapat dari pengetahuan lahir dan batin.

Komentar saya mengenai pemikiran Locke :

Dari teori John Locke tentang pengetahuan terlihat ada kerancuan karena selain dia terkenal sebagai seorang empirikal, tapi dalam sisi teori pengetahuannya dia mengakui tentang adanya pengetahuan intuitif yang ternyata semuanya masih kembali kepada indera. Untuk itu pada dasarnya empirisme menilai sebuah pengetahuan berdasarkan pengalaman. Ketidakpercayaannya pada objektifitas kualitas materi yang membawanya pada pembagian antara reaksi objektif dan reaksi subjektif sendiri menimbulkan persoalan mengenai tanpa adanya pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak ada.

Dalam Psikologi, Pengetahuan berasal dari pengalaman, tidak mengakui adanya pengetahuan yang sifatnya bawaan itu diwakili oleh pandangan Locke tentang tabula rasa. Menurutnya, pikiran manusia yang baru lahir sebagai bayi mirip dengan kondisi kertas kosong yang belum ada tulisannya dan akan ditulisi sepanjang hidupnya oleh pengalaman. Jika hal ini diletakkan secara ekstrem dan konsisten, maka dimana ruang untuk potensi manusia mandiri yang tidak tergantung pada lingkungannya? Ruang untuk memilih dan merealisasikan pilihan kita. Walaupun pada masa berikutnya teori ini dibangun dengan lebih jelas oleh Ibnu Sina dan Ibu Tufail.

Demikian dua tokoh pertama yang dibahas dalam tulisan ini, selanjutnya akan dibahas pandangan kaum idealis, pendukung skeptisisme modern, kaum relativisme, skeptisisme ilmiah,behaviorisme, freud dan materialisme histories.

Tulisan berikutnya :

http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/14/perjalanan-filsafatku-nilai-pengetahuan-ii/
http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/14/perjalanan-filsafatku-nilai-pengetahuan-iii/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline