Institusi pemerintah kembali menorehkan buku kuningnya setelah beberapa oknumnya terlibat dalam aksi penuh kritikan publik terkait penyitaan dagangan salah seorang pedagang rumah makan di daerah Serang, Banten. Aksi tersebut berhasil direkam sebelum akhirnya tersebar meluas di dunia maya dan menjadi pemberitaan publik.
Namun, aksi ini menuai kontroversi terkait peraturan daerah atau perda yang ada di daerah tersebut. Jika di kota Serang aksi razia Satpol PP pada ramadhan tersebut memang menjadi program kerja mereka, lain halnya dengan daerah lainnya di indonesia. Dimana untuk daerah lainnya belum ada atau masih jarang peraturan daerah yang mengatur tentang razia rumah makan pada saat bulan ramadhan. Sontak pula hal itu membuat presiden segera berupaya menyelesaikan masalah ini. Upaya yang dilakukan presiden adalah menarik benang kusut peraturan daerah.
Sikap cepat tanggap presiden harus di apresiasi. Sebut saja, tak lama setelah peristiwa di Serang itu menjadi viral, presiden langsung cepat merapatkannya dan akhirnya merumuskan persoalan dengan membuat kesimpulan yakni pembatalan 3143 peraturan daerah yang ada di setiap wilayah di Indonesia. Adapun peraturan daerah yang dibatalkan ini adalah peraturan yang dinilai bermasalah. Tolok ukur yang dipakai sehingga dapat mengatakan peraturan itu bermasalah adalah karena adanya peraturan yang memperpanjang jalur birokrasi dan potensi menghambat perkembangan bangsa. Lebih lanjut presiden mengatakan kalau peraturan yang sekian banyak, dalam beberapa hal juga menghambat dan menjerat masyarakat dan pemerintah.
Sementara selama ini pemerintah pusat disibukan dengan talik ulur antara peraturan yang berlaku secara kolektif, kini kita harus melihat pekerjaan tambahannya tatkala semakin banyak hukum daerah yang tetap menunjukkan taringnya sekalipun ada juga simpangsiur dengan kebijakan pusat. Akhirnya kedua hal ini yang memberikan beban kerja lebih lagi kepada pemerintah. Dan dalam hal ini pula pemerintah dituntut untuk jernih dalam menanggapi atau memberi putusan.
Tentunya, sekalipun pemerintah melalui presiden Jokowi telah menginstruksikan penghapusan perda yang bermasalah, dalam praktiknya pasti masih banyak yang tidak secara langsung berhenti menerapkannya. Dalam arti, setiap perda yang telah disusun sudah terlanjur mengikat karena proses penyusunan yang sudah barang tentu di iringi oleh kepentingan politik dan cita-cita politik daerah tersebut. Dan hal tersebut tidak serta merta dapat dihapuskan seketika itu saja sejalan dengan putusan presiden.
Namun yang disayangkan adalah terkait sejauh apa dan bagaimana sesungguhnya koordinasi yang dibangun oleh pemerintah daerah dalam hal ini DPRD dan Walikota/gubernur dengan pemerintah pusat dalam menyusun rencana peraturan daerah. Jika memang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pasti tetap saja tidak mungkin tanpa pengawasan dari pemerintah pusat. Sebaliknya jika memang sudah melalui koordinasi bersama, bagaimana pula peraturan yang sudah lulus uji akhirnya harus terjerat lagi dalam ketidakselarasan peraturan daerah dan pusat. Akhirnya yang menjadi kekecewaan seluruh pihak, termasuk masyarakat adalah sia-sianya usaha, energi, dan materi yang disumbangkan selama ini sepanjang perumusan peraturan daerah.
Belajar dari masalah
Semakin banyaknya suplai peraturan membuat kualitas perpolitikan kita juga menjadi sorotan. Hingga saat ini, anggapan paling relevan adalah bahwa telah terjadi retrograsi politik atau menurunnya kualitas politik yang ada di bangsa ini ditandai dengan suplai peraturan yang terus-menerus. Seolah rakyat dipaksa untuk duduk tenang, sementara pemerintah mengambil kendali sepenuhnya terhadap persoalan publik dan mengemasnya dalam paket kebijakan yang beraneka macam bentuknya. Pada tahap akhir, yang terjadi adalah kebablasan. Keterusan dalam mengakses berbagai macam peristiwa kemudian menentukan peraturan tertentu yang bersifat lokal atau daerah tetapi justru kerap kali bersebrangan dengan hak publik yang diatur oleh pemerintah pusat. Padahal kita tahu sekarang ini akses untuk berhubungan dan berkomunikasi semakin mudah. Seseorang dengan mudahnya datang dan kemudian pergi. Sebut saja, tenaga kerja yang dewasa ini disuplai dari berbagai daerah lain, pasti memiliki latar belakang suku, golongan, agama yang berbeda. Sementara ia tidak bisa memperoleh peraturan yang bersifat umum. Ini menghasilkan kekecewaan bagi sebagian kalangan tersebut.
Bangsa kita telah memilih demokrasi sebagai mufakat untuk mencapai persatuan. Konsekuensi dari pilihan itu adalah supaya kita tidak lagi terjebak dalam suatu bentuk pemerintahan yang oligarki dan otoritarian. Maka sebagai solusinya adalah slogan “mengutamakan kepantingan rakyat” itulah yang kemudian harus tetap di jaga. Akan tetapi hal ini tentu saja bukan sebagai penolakan penuh terhadap hukum positif. Tidak ada satupun alasan dibalik sejarah terbentuknya demokrasi adalah dengan mematikan hukum. Hukum tetap ada dan selalu berjalan. Paket peraturan tetap harus ada sebagai nakhoda bagi masyarakat. Tetapi jangan sampai berbagai peraturan tersebut mematikan hak rakyat untuk memperoleh kehidupan.
Maka tidak ada salahnya jika sebelum menyodorkan suplai hukum, terlebih dahulu menyusun berbagai pertimbangan yang mantap dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Sekalipun otonomi daerah sudah secara jelas di atur dalam perundang-undangan, tetapi menteri dan presiden tetap memiliki hak yang utuh untuk menjadi rekan sekerja, penasihat dan dalam kondisi tertentu pula menjadi pemberi keputusan final dari paket kebijakan yang ada.
Apa yang menjadi kebijakan presiden adalah sebuah pembelajaran bagi pejabat publik lainnya bagaimana menentukan prioritas untuk menghasilkan keputusan yang terutama dan mementingkan kebutuhan banyak pihak. Sehingga setiap orang akan merasakan bahwa peran mereka dalam suatu bangsa sudah jelas dalam kerangka berdemokrasi dengan koridor satu hukum yang jelas mengatur, bukan banyak aturan hukum. Hingga akhirnya kita tidak lagi mendapati adanya peraturan daerah yang menjadi wacana publik. Masih bangga rasanya kalau uraian yang diberikan dalam bentuk apresiasai, lain halnya kalau berbuah kritikan. Maka jangan sampai hal yang sama terulang untuk kedua kalinya.