Produksi dalam bahasa arab adalah al-intaajdari akar kata nataja, tetapi dalam istilah fiqih lebih dikenal dengan kata tahsil,yaitu mengandung arti penghasilan atau menghasilkan sesuatu. Begitupun dengan Ibnu Khaldun, menggunakan kata tahsil untuk produksi ketika ia membahas pembagian spesialisasi tenaga kerja. Dalam kamuss bahasa Indonesia produksi berarti hasil atau penghasilan. Produksi dapat digunakan manusia sebagai penghasilan utuk dirinya, oleh karena itu produksi sangatlah penting dalam kehidupan manusia sehingga dibahas dalam salah satu hadits berikut :
"Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa bisa atau tidak mampu menanaminya, maka hendaklah ia serahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya "(HR. Muslim).
Dari hadist diatas Nabi Muhammad SAW telah menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya untuk menanaminya (memanfaatkannya). Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia tidak diperkanankan menelantarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) sebagai hal yang tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan masyarakat umum.
Lahan yang kita miliki hendaknya di manfaatkan dengan menanami tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, atau bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal tersebut merupakan upaya menciptakan kemaslahatan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Dalam firman Allah SWT telah menyerukan untuk memanfaatkan segala hal yang Allah telah ciptakan di muka bumi.
Dalam ekonomi islam sendiri menjelaskan bahwa produksi untuk menciptakan manfaatn bukan untuk menciptakan materi. Berbagai sumber daya alam harus digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran dan kemaslahatan masyarakat umum.
Tanah atau lahan sendiri merupakan faktor produksi yang paling penting dari pada faktor produksi yang lainnya. Sebab, tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen mausia. Namun, permasalahan yang timbul akibat persoalan tanah juga sangatlah rumit.
Konsep kepemilikan tanah dalam islam adalah apabilah tanah dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun maka tanah tersebut akan di cabut dan dibiarkan kepada orang lain. Seorang pemilik tanah diperkenankan menanami tanahnya dengan berbagai macam tumbuhan, serta diiperkenankan untuk memeliharanya dengan hewan,benih, dan juga pelengkap lainnya. Apabila pemilik tanah tidak mampu mengelolahnya, maka si pemilik tanah boleh megambil alihkan pada saudaranya atau tetangganya untuk untuk ditanami atau dimanfaatkan. Pemilik tanah memiliki hak terhadap tanah tersebut dan pemilik tanah tersebut juga memiliki kewajiban untuk memanfaatkan tanah dengan sebaik mungkin.
Rasulullah mengatakan bahwa pekerjaan menggunakan tangan sendiri seperti menulis, bertani merupakan bagian dari pross produksi dan merupakan mata pencaharian yang baik. Umar r.a berpendapat bahwa melakukan aktivitas produksi lebih baik daripada mengkhususkan waktu untuk ibadah-ibadah sunnah, dan menggantungkan manusia (orang lain) untuk mencukupi kebutuhannya. Seperti riwayat yang mengatakan, bahwa Umar r.a melihat tiga orang di masjid sedang tekun beribadah
maka bliau bertanya kepada salah satu diantara mereka, "dari mana kamu makan?" lalu ia menjawab " aku adalah hamba Allah, dan Ia mendatangkan rezekiku sebagaimana Ia menghendaki". Kemudian Umar meninggalkanya dan menuju ke orang keduanya dan menanyakan hal yang sama. Maka dia menjawab "aku memiliki saudara yang mencari kayu di gunung untuk dijual, lalu dia makan sebagian hasilnya, dan dia datang memenuhi kebutuhanku" maka Umar berkata, "saudaramu lebih beribadah daripada kamu".
Dalam firman Allah SWT :
"Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S An-Nahl ayat 11 ).