Zaman konsumerisme dan hedonisme menawarkan serba instan. Jalan pintas lebih dipilih daripada berproses. Mereka memilih ini karena ada yang diandalkan: uang. Untuk mendapatkan uang pun jalan pintas ditempuh. Lihat saja, betapa banyaknya pegawai (PNS) yang kekayaannya melejit melebihi gajinya. Banyak yang beralasan karena warisan (?), atau ada binis lain (?), bisnisnya kapan? Jarang yang berani mengaku karena curang, bahkan nggak ada, ya?
Pada umumnya gaji (PNS) akan sama (setara) jika golongan dan masa kerja sama. Nyatanya masih sangat mudah dijumpai jurang perbedaan antara pegawai instansi satu dengan instansi lain, walau golongan dan masa kerjanya sama. Sulit dipercaya bahwa kekayaan mereka akan semelejit itu jika tidak ada jalan pintas yang dilalui. Banyak tafsiran jalan pintas ini.
Kepala misalnya (kepala instansi apa saja), dalam hitungan bulan sudah mampu menunjukkan kemelejitan itu. Beberapa di antaranya ada yang malu-malu, beberapa yang lain justru semakin bangga. Ada yang bilang, sangat sulit menghindari jalan pintas. Ada yang bilang terpaksa dan tak kuasa menolak jalan pintas. Apa pun alasannya, jalan pintas ya tetap jalan terpendek dan tercepat serta 'ternyaman'.
Beberapa di antaranya masih ada yang tidak mau jalan pintas, terutama yang fanatik dengan idealisme, baik dunia maupun akhirat. Tipe yang ini jauh lebih sedikit dibandingkan tipe sebelumnya. Tipe ini justru sering diperolok, sok sucilah, sok alimlah, dan sejenisnya. Ada yang lebih ngeri lagi: yang haram aja susah apalagi yang halal. Ini parah.
Inilah cara orang menghargai dirinya. Harga diri multi tafsir. Semakin kaya semakin harga dirinya meningkat. Semakin berpendidikan semakin meningkat. Semakin alim semakin meningkat, dan seterusnya. Banyak tolok ukur yang bisa dipakai, sesuai dengan persepsi dan pendirian masing-masing. Ada juga seperti yang dibilang mbah moyang: Ajining rogo gumantung ing busono, ajining lathi gumantung ing lathi. Harga diri tergantung penampilan fisik dan tutur kata. Walau masih bisa ditafsir lebih jauh lagi.
Tidak salah jika harga diri diukur dari masing-masing individu. Cara dia menghargai orang lain itulah cara ia menghargai dirinya. Seseorang menghargai orang lain karena orang itu kaya, maka ia pun minta dihargai karena kekayaannya. Begitu seterusnya.
Doktrik agama berkata beda. Allah menghargai manusia karena ketaqwaannya. Orang yang taqwa menghargai orang lain karena orang lain adalah makhluk yang yang harus dihargai, apa pun status dnunianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H