Lihat ke Halaman Asli

Great Gift, Cerminan Lunturnya Ciri Khas Drama-Drama Profesi Jepang

Diperbarui: 25 Februari 2024   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Great Gift (ilustrasi sepenuhnya milik TV Asahi)

Bagaimana jika suatu bakteri bisa mengakibatkan seseorang, terutama sosok berpengaruh, seolah meninggal karena sebab alami? Maklum tidak ada yang janggal pada hasil otopsi korban.

Bintik hitam memang terlihat samar di leher korban, tempat bakteri tersebut bersemayam. Hanya saja jejak bakteri tersebut akan langsung menghilang begitu berada di suhu rendah.

Tanpa perlu dipaparkan lebih jauh, tidak sulit menerka keseruan-keseruan seperti apa yang bisa kita saksilan dari serial Great Gift dalam sepuluh hingga sebelas episode ke depan, meski istilah atau prosedur medisnya tidak sekental drama medis kebanyakan.

Terlebih, tiap karakter dipaksa membuat keputusan-keputusan sulit yang kadang bertentangan dengan hati nurani, termasuk oleh dokter spesialis patologi, yang sedari awal digambarkan tidak neko-neko dan mudah gugup, dokter Fujimaki Tatsumi.

Meski tidak seintens serial bertema sama dari Amrik atau Korea, Great Gift membawa kembali unsur drama medis ala Shiroi Kyoto (1965) yang bercerita tentang dua orang dokter, merangkap asisten profesor, beda karakter, yang sudah diadaptasi berulang, termasuk lewat drakor, berjudul sama dalam Bahasa Korea (2007), yang versi terbarunya diproduksi tahun 2019.

Seperti halnya serial dengan cerita dan episode terkonsep lainnya, para penulis naskah Jepang dikenal jago mengembangkan cerita yang ide dasarnya rata-rata sudah bisa dipahami penonton sekitar lima belas sampai dua puluh menit pertama ketika menonton episode perdana.

Bukan hanya cerita yang berkesan tajam, intens, dan gelap seperti Shiroi Kyoto, para penulis naskah tersebut juga jago menggali cerita yang lebih kalem dan dekat dengan keseharian yang terkadang tidak menyertakan deretan sosok antagonis (yang menonjol) dalam daftar pemerannya.  sebagaimana yang tergambar dalam serial Summer Rescue (2012) yang bercerita tentang tentang dokter universitas yang “dipaksa” mengabdi di pucuk gunung yang peralatannya bahkan mungkin tidak selengkap puskemas Indonesia lantaran di sana hanya ada peralatan medis sederhana seperti jarum, benang, pinset bedah, tabung oksigen, disinfektan, jarum suntik serta obat-obatan umum.

Bukan hanya menggambarkan kebiasaan menyusuri gunung masyarakat Jepang, di mana setidaknya 10,46 juta orang, termasuk para turisnya tercatat mendaki gunung-gunung di Jepang yang emang bejibun jumlahnya pada tahun 2011 aja, serial yang tergolong fiksi ini menggambarkan fakta tentang klinik yang kurang lebih sama sederhananya memang ada di dekat puncak gunung fuji.

Cerita drama medis yang lebih kompleks tercermin dari serial Code Blue yang menceritakan empat intern, lulusan dokter baru, beserta satu perawat muda berpengalaman yang karakter-karakternya dekat dengan keseharian.

Sebut saja, Aizawa Kosaku, sosok dokter dingin namun cekatan. Selanjutnya ada Siraishi Megumi, dokter muda berwawasan luas yang berasal dari keluarga berlatar belakang medis namun lebih sering kikuk ketika mempraktikannya di dunia nyata.

Melihat kecakapan dua sejawatnya, wajar jika Hiyama Hiyoko, dokter berpembawaan jutek, kadang keder berhadapan dengan keduanya meski semua dokter muda tersebut praktis lulus di tahun yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline