Sebelum bikin coretan kurang penting ini, saya pengen mengingatkan diri saya sendiri kalau saya bukan orang atau ahli medis dan nggak pernah dapet pembekalan medis dari mana pun dan dalam bentuk apa pun sampai saat ini.
Saya cuma penggemar para sineas drama jepang yang sepertinya tahu benar cara berbagi pengetahuan medis dengan cara bercerita. Cerita yang seharusnya bikin saya sadar kalau saya makin nggak tau apa-apa soal medis.
Hal yang juga dirasakan para karakter dalam serial "Top Knife" yang sempat salah mendiagnosis gangguan kesehatan pada saraf otak pasien, yang dari satu gejala saja, bisa melahirkan lebih dari satu diagnosa gangguan kesehatan yang dialami pasien.
Seperti sudah disinggung di bagian awal, kalau "Top Knife" menyinggung tentang otak manusia karena secara umum serial ini memang bercerita tentang, para dokter (dan perawat) di departemen bedah saraf suatu rumah sakit universitas, di mana masing-masing dokternya punya karakter sendiri-sendiri;
Miyama Yoko, dokter yang tegas, jutek, nggak suka basa-basi, fair (terhadap masukkan yang baik dan masuk akal), Kuroiwa Kengo (foto om-om sedakep), dokter yang flamboyan, cuek, gatel terhadap lawan jenis, meski nggak digambarkan sebagai tipe om-om senang yang royal, serta Nishigori Takuma (foto dokter yang jasnya pake kerah), dokter muda yang brilian dan terkesan arogan.
Kebetulan keduanya merupakan dokter-dokter bedah terbaik yang sengaja didatangkan (kalau ngga salah) kepala departemen bedah saraf, Imadegawa Takao (foto dokter rambut putih), untuk membantu dokter Miyama.
Sebenernya masih ada satu dokter lagi, Kozukue Sachiko, yang digambarkan belum sepiawai para seniornya dan sengaja digambarkan sebagai sosok yang minderan.
Dan, karena keterampilannya yang masih terbatas, ia dijadikan bahan olok-olok seksis dokter Kuroiwa (sadar nggak sadar, dengan mendeskripsikan dokter Sachiko seperti ini saya berarti sama seksisnya dengan Kuroiwa. Seksisme saya bahkan masih berlanjut pada deskripsi dokter Kozukue berikutnya di paragraf selanjutnya).
Balik lagi ke dokter Kozukue, meskipun terkesan minder dan sedikit komikal, karakter Kozukue digambarkan punya kecermatan (yang kadang tidak disadari dirinya sendiri) serta empati, yang disadari atau nggak, terkesan lebih jembar (baca: luas) ketimbang para dokter senior yang lebih mengandalkan skill.
Perbedaan karakter para dokter itulah yang bikin cerita "Top Knife" lebih hidup, meski dari dua episode (dari sepuluh episode) yang saya nikmati, jalinan dan warna cerita yang dihasilkan dari perbedaan karakter antar tokoh belum terlalu kentara.
Yang kuat justru gimana gangguan kesehatan tiap pasien yang para dokter itu tangani bisa memberikan wawasan sekaligus drama tersendiri untuk para penikmatnya (di situlah ciri khas drama jepang yang membuatnya mungkin tidak banyak menarik peminat penonton layaknya drama ber-genre sama dari Korea atau Amrik misalnya).