Lihat ke Halaman Asli

Ghostwriter (ゴーストライタ)

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.asianwiki.com

[caption id="" align="aligncenter" width="254" caption="www.asianwiki.com"][/caption]

Menarik, cerita dibuka dengan sebuah tamparan seorang wanita dewasa kepada perempuan yang lebih muda. Tamparan yang bisa jadi tidak terdengar, teredam oleh guyuran hujan yang membasahi jalanan. Perempuan yang lebih muda memang tak membalas. Namun kata-katanya justru memicu pergumulan yang lebih besar, jambak-jambakan, tarik-menarik kerah pakaian hingga tak sengaja menarik kalung mutiara milik wanita yang lebih dewasa. Entah imitasi atau bukan, yang jelas butir-butir mutiara itu jatuh bersama tetesan hujan. Oh iya kata-kata perempuan yang lebih muda tadi sekilas terdengar seperti Watashi ga, inai to nanimodekinai ku sa, tanpaku kau tidak bisa berbuat apa-apa. Wanita yang menampar perempuan tadi bernama Tono Risa, perempuan yang telah kehilangan segalanya. Sedang perempuan satunya lagi, dalam dunia nyata, sejak awal, tidak memiliki apa-apa.

Cerita bergulir dua tahun beberapa bulan kemudian. Perempuan muda tadi ternyata bernama Kawahara Yuki, penulis berbakat yang berkali-kali ikut kompetisi menulis, namun sebanyak itu pula apresiasi yang tidak ia dapatkan. Pencapaiannya paling-paling hanya juara kompetisi minor atau sekedar penggembira, seperti dalam Shunpo Award ke 50, penghargaan terhadap penulis baru. Yuki entah ada di peringkat berapa. Namun dari sampul belakang buku yang tengah dibacanya tertulis nama pemenang Shinagawa Yuzuru.

Prestasi yang terbilang biasa-biasa saja membuat Yuki ingin mudik di akhir tahun, terlebih persiapan pernikahannya juga segera menjelang. Di sela waktu tersebut, Yuki akan berusaha meminta review profesional untuk novel yang belum pernah diterbitkannya, My Second Self.

Sementara di tempat lain, Tono Risa sedang berkendara dengan sedan hitamnya menuju acara penyerahan penghargaan Shunpo Award, dalam kapasitasnya sebagai juri kompetisi. Risa sendiri didapuk menjadi juri karena karya-karyanya pernah mendominasi daftar best seller. Adaptasi enam novel terdahulunya juga terbilang sukses. Tidak heran walaupun karya terkini Risa belum rampung, pihak penerbit menyokong penuh proses perampungan, dengan menyediakan asisten sementara. Uto Fuda, dibilang asisten sementara lantaran ia hanya editor yang diperbantukan penerbit melakukan riset. Selain menjadi asisten, Fuda juga bertugas segera mencarikan asisten tetap untuk karya Risa kali ini. Kebutuhan akan asisten baru boleh dibilang makin mendesak lantaran sebelum memasuki ruang acara penganugerahan Risa mendadak mengumumkan rencana undur diri dari dunia kepenulisan. Alasannya sederhana, dalam lima tahun terakhir, novelnya tidak lagi menghasilkan penghargaan. Sebuah kepanikan logis dari pihak penerbit melihat keuntungan menggiurkan yang mereka dapatkan dari karya Risa, bukan hanya novel melainkan  produk turunannya seperti manga, ebook, bahkan film.

Walaupun karya-karyanya belum lagi mendapat tempat pembaca, seperti halnya profesi lain di jepang, senioritas dan prestasi Tono-sensei selama ini membuatnya mendapat lampu sorot, bersama para penulis kenamaan lain yang juga diundang dalam penghargaan tentunya. Sorotnya bahkan lebih terang dari bintang utama penghargaan ini.

Ternyata Risa tak butuh waktu lama mendapat asisten baru. Saat tengah menuju kantonya, oleh sutradara, Futo diarahkan untuk berpapasan dengan Yuki. Yuki sendiri datang ke kantor Futo untuk mencari editor My second Self. Seperti sudah diduga, Futo menawarkan kepada Yuki kesempatan emas untuk menjadi asisten Risa, yang kebetulan salah satu novelis favorit Yuki (ya iyalah bukan gue, secara kan yang jadi bintang utama film ini tokoh Risa ma Yuki, ngomong-ngomong sejak kapan gue jadi novelis, bikin fiksi aja ngga pernah, bijimane mo bikin novel).

Tentu saja Yuki tidak langsung menerima tawaran Futo (klo langsung diterima mah kaga seru ceritanye pok). Alasannya apalagi kalau bukan rencana pernikahannya dengan Hiroshu Ozaki. Namun seperti sudah diduga, Yuki akhirnya menerima tawaran Futo. Di sisi lain, Futo bersedia mengulas hasil karya Yuki. Sampe bagian ini sebenernya jalan ceritanya udah ketebak pegimane terusannya.

Singkat kata, Yuki sampai di kediaman Risa. Kediaman megah yang menghadap pantai sepertinya memang tempat favorit novelis mencari inspirasi, Terlepas dari bangunannya yang terkesan lebih gagah dan elegan, entah kenapa setting dorama ini mengingatkan saya pada Song Hye Kyo. Di Full House bukan Bob Saget, Hakkyo juga maen jadi penulis novel yang nongkrong di rumah pantai. Cuman rumah pantai nyang ono lebih asri dari nyang dimari, secara banyak tanemannya.

Sebelum memasuki rumah, Yuki diminta asisten rumah tangga kediaman Tono, Misuzu Taura, untuk tidak bicara saat berada dalam ruangan Risa, terutama saat Risa sedang menulis. Hanya saja Yuki tidak mengikuti arahan Taura. Begitu masuk ruangan, Yuki malah memperkenalkan diri. Lagipula, Risa tidak tampak sedang menulis, dan hanya leyeh-leyeh, mencari inspirasi. Karena Yuki kekeuh memperkenalkan diri, tentu saja Risa langsung menyela karena buatnya menulis bukan hanya saat senam jari, melainkan termasuk juga saat leyeh-leyeh mencari inspirasi. Ngomong-ngomong baru tau klo leyeh-leyeh sampun mlebet KBBI.

Di tempat lain, ternyata Futo terkesan pada novel mpok Yuki yang inspiratif, setidaknya buat Futo (ngga tau diamana inspiratifnya). Ia pun merekomendasikan agar novel Yuki dapat diterbitkan. Hanya saja Futo membuka promosinya dengan kurang pas. Dia hanya menyarankan editor kepala untuk menerbitkan novel sebanyak 3000 kopi saja. Tanpa membaca novel Yuki terlebih dahulu, Editor Kanzaki Yuji langsung menolak proposal Futo. Buat Yuji, novel bukan proyek rugi. Buatnya, karya yang diterbitkan harus terbukti disukai banyak orang. Karena alasan itulah, Yuji rela mengejar-ngejar novelis Hanayashikii yang tengah sakit, agar mau menyerahkan penerbitan novel-novelnya di tempat Kanzaki bekerja. Bukan hanya novel terbarunya, namun juga novel lama yang hak penerbitannya dipegang oleh penerbit lain.

Futo pun menceritakan pada Yuki pandangan editor kepala apa adanya. Dia bilang belum bisa berbuat banyak mengingat walaupun karyanya bagus, penerbit belum bisa menerbitkan karyanya karena Yuki belum memiliki rekam jejak bagus, setidaknya di kompetisi mayor.

Respons yang kurang baik juga diterima Risa. Saat diundang untuk menjadi penulis esai, calon editor esainya memang mengaku menggemari karya Risa, Itsuka ano Hino Anata e, Someday, You from that Day, novel Risa beberapa tahun lalu dan bukan Ever Fresh, novelnya terkini. Apresiasi yang boleh dibilang tidak menyenangkan hati. Apalagi sehari sebelumnya, putra Rika, Daiki, menyambut dingin bukan saja keramahan ibunya tetapi juga Ever Fresh, dengan mengutip komentar salah satu pembaca novelnya di komunitas online yang mengatakan kalau Ever Fresh kurang nendang dan rada ribet dipahami. Sikap dingin Daiki sebenarnya bukan hanya dipicu oleh apresiasi negatif pembaca terhadap Ever Fresh melainkan juga sikap Risa yang lebih mementingkan karir. Tidak heran Daiki seakan mendapat pembenaran tambahan ketika pilihan ibunya justru mendapat penilaian negatif, dari sumber kebanggaanya, pembaca.

Walaupun suasana hatinya terbilang kurang baik, dampaknya tidak ditularkan pada Yuki. Yuki mendapat pujian karena hasil kerjanya memuaskan. Hasil riset Yuki yang disusun secara sistematis memudahkan Risa mengerjakan novel berikutnya. Pujiannya itu tentu saja membuat Yuki makin semangat menulis. Ia pun berinisiatif menyusunkan Memorial Essay novelis Hanayashikii, yang sebenarnya menjadi tugas Risa. Maksud Yuki sebenarnya baik (minimal dari apa yang di katakan di depan sekertaris Taura). Ia hanya ingin membantu Risa mengumpulkan informasi tentang Hanayashikii sensei. Memberikan informasi yang berarti memberikan hak penuh bagi Risa untuk menggunakan informasi yang dituliskan Yuki. Sebaik apapun maksud Yuki tentu saja tidak dapat diterima Taura mengingat memorial essay ini seharusnya dibuat sendiri oleh Risa. Tanpa ragu Taura membuang hasil kerja keras Yuki ke tong sampah.

Di tempat lain, Suasana hati Risa belum sepenuhnya membaik. Saat menjadi narasumber dalam sebuah seminar, Risa menjelaskan bagaimana proses kreatifnya tumbuh. Penjelasan yang membuat  host kemudianmengibaratkan proses kreatif Risa seperti membesarkan seorang anak. Tidak ada yang salah dengan ucapan host tadi, namun melihat kelakuan Daiki. perumpaan tadi sama saja membangkitkan macan tidur pada diri Risa. Karena harus menjaga citra di depan khalayak, Risa hanya tersenyum mendengar kata-kata tersebut. Namun tidak di kediamannya. Di ruang kerjanya, Risa pun mengilas balik ucapan dingin putranya sembari membaca komentar-komentar pembaca Ever Fresh. Komentar-komentar pedas yang tentu saja membuat murka orang yang tidak mau menerimanya. Untuk melepas kekalutan, Risa pun menumpahkannya pada dekapan Yuji. Pada Yuji, Risa berkata dia tidak bisa lagi menulis.

Kebetulan Yuji melihat tumpukan esai teronggok manis dalam keranjang sampah. Teronggok manis memang bukan kiasan karena memang esainya masih utuh, tanpa lusuh, serapi tumpukan kertas yang seakan diletakan di tempat sampah (ya iyalah kertasnya maen ditaro' di tempat sampah, klo udah dikuwes-kuwes mana kliatan esainye bang). Jujur pada bagian ini saya amat malas untuk menonton. Semalas saya menikmati beberapa drama Jepang keluaran tahun 2010-an. Konfliknya boleh dibilang bukan ala dorama. Miniseri jepang terkenal cukup elegan mengemas antagonisme, istilah yang saya karang bebas untuk menyebut konflik. Menurut kamus sendiri antagonism berarti ketidaksukaan yang terus berlanjut.

[caption id="" align="aligncenter" width="299" caption="Chef Mio (mantan-web.jp)"][/caption]

Dorama jepang piawai menarik pemirsa lewat hal-hal sederhana, misal dari rasa masakan  dalam dorama Mi Wo Tsukushi Ryoicho. Dalam drama ini, kita diajak untuk mengenal selera lidah masyarakat jepang di beberapa wilayah. Lidah masyarakat zaman Edo konon menyukai kuliner bernuansa  asin.  Selera masyarakat Edo menjadi cerita tersendiri saat menu mereka ternyata dibuat oleh koki dari Kyoto. Kyoto sendiri dikenal sebagai daerah yang sebagian masyarakatnya menyukai rasa bahan makanan apa adanya. Pemilik restoran di Kyoto percaya bahwa rasa alami bahan terbaik akan menunjukan kelezatannya sendiri, tanpa perlu bumbu berlebihan (bijimane rasanya ye? ke jepang aje blom pernah).  Selera masyarakat Edo juga bukan tanpa alasan. Masyarakat Tokyo jaman dulu konon banyak yang bekerja sebagai tukang, pekerjaan yang tentu saja banyak memikat keringat. Mengingat keringat sejatinya adalah garam, maka tidak perlu lagi menjelaskan mengapa masyarakat Edo suka masakan asin bukan? Walaupun dorama yang saya maksud ini berseting tahun 1800-an, penerapannya terbilang masih relevan hingga sekarang, tidak heran minuman ion tersusun dari ion Na+ dan Cl- yang tidak lain adalah garam dapur. Kalau memang larutan garam, kenapa minuman isotonik bisa berasa buah ya? Nanya doang. Dorama seperti ini di tahun 2010-an boleh terbilang langka.  Mi Wo Tsukushi Ryoicho sendiri adalah Drama spesial tahun 2012 yang merupakan adaptasi seri novel Takada Kaoru. Kalau dilihat-lihat, drama seperti ini sebenarnya juga bisa digali dari khasanah Indonesia, lewat perbandingan masakan jawa yang manis dan masakan aceh yang kaya rempah, Namun seperti kata Yuji, seperti halnya novel, cerita seperti ini boleh jadi belum bayak peminatnya

Kembali ke dorama Ghostwriter, pada awalnya Risa enggan menuruti kata Yuji untuk menggunakan tulisan Yuki sebagai memorial essay-nya. Baginya, dengan memakai jasa ghostwriter sama saja mengakui kalau Risa telah kehilangan sentuhannya.  Lagipula Ia  tidak mau mengakui karya orang lain sebagai karyanya. Tidak heran, Risa pun meremas-remas esai Yuki dan mencoba mencari inspirasi. Namun karena inspirasi tidak juga muncul, Risa pun meminta Yuji menerbitkan esai tersebut. Saat esai tengah diserahkan, Risa akhirnya mendapat inspirasi. Dia menyusun kembali coretan Yuki dengan menambahkan sedikit sentuhan Risa, yaitu nama Tono Risa. Saat esainya rampung, Risa pun meminta Yuji untuk menarik esai Yuki sekaligus menerbitkan esai miliknya (klo cuma nambahin nama Tono Risa terus bedanya dimana ya? emang beda sih, doi kan yang ngetik ulang #eh)

Mengetahui karyanya dipakai Risa, Yuki pun hanya bisa tertunduk lesu. Melihat Yuki tertunduk lesu saya pun jadi geregetan dan misi penulis skenario pun tercapai.  Para penulis skenario tersebut sebenarnya berhasil mempengaruhi saya bukan sejak Risa menyerahkan kertas lusuh esai Yuki kepada Yuji, namun sejak saya memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton Ghostwriter pada kesempatan pertama dan memilih untuk tidak bersikap ksatria dengan mencari-cari alasan pembanding, membandingkan dorama ini dengan drama tentang kuliner tadi. Dengan geregetan berarti tujuan pembuat drama ini tercapai. Dan jika dilihat-lihat, saya tidak berbeda jauh dengan orang Indonesia lainnya yang geregetan sendiri saat menonton drama di televisi

Pada titik ini, saya akhirnya paham apa yang dimaksud dengan Watashi ga, inai to nanimodekinaiku sa. Menariknya pada bagian penutup episode awal ini Yuki digambarkan tersenyum sinis sembari berlalu meninggalkan Risa yang digambarkan kalah, tersungkur dalam guyuran hujan. Saat berbaring, Risa bergumam “Umare Kawatte itsuwari mo nai watashi no jinsei no ikitai” aku ingin lahir kembali dan hidup jujur tanpa kebohongan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline