Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF) dengan penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional. Mengingat adanya kemungkinan terjadinya shock (seperti krisis keuangan 2008/09) perlu adanya fleksibilitas, karena kekakuan ITF dalam implementasi kebijakan ketika terjadi shock atau gangguan lainnya. BI memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Terdapat 5 elemen pokok fleksibilitas ITF.
- Pertama, inflasi tetap merupakan target utama kebijakan moneter.
- Kedua, pengintegrasian kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan mendukung stabilitas makroekonomi.
- Ketiga, penguatan kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
- Keempat, penguatan koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun stabilitas sistem keuangan.
- Kelima, penguatan komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Dalam implementasi flexible ITF, Bank Indonesia menjadikan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang merepresentasikan respon kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran. Selain itu, implementasi flexible ITF juga ditujukan untuk mencapai stabilitas sistem keuangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, implementasi flexible ITF didukung oleh penerapan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang difokuskan pada interaksi antar lembaga keuangan, pasar, infrastruktur, dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan.
Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas). Secara garis besar, instrumen kebijakan yang mendukung flexible ITF yaitu: kebijakan suku bunga, makroprudensial, dan nilai tukar. Selain ketiga instrumen kebijakan moneter yang menjadi implementasi flexible ITF. BI juga memperkuat koordinasi dengan Pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun stabilitas keuangan.
Saat ini implementasi fleksibilitas ITF sedang diuji. Dapat dilihat dari penerapan kebijakan penurunan tingkat suku bunga sebesar 50 bps menjadi 4.50%. Implementasi kebijakan makroprudensial melalui pemberian insentif untuk mendorong intermediasi perbankan selama periode tertentu kepada bank yang memberikan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu.
Kebijakan stabilitas nilai tukar melalui triple intervention. Stategi intevensi di pasar spot, DNDF, pembelian SBN di pasar sekunder. Intensitas intervensi ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri pasar karena BI akan selalu berada di pasar untuk menjaga dan mengawasi pasar.
Pada bulan April tingkat inflasi di Indonesia sebesar 2.67 %, bulan Maret sebesar 2.96 %, 2.98 % pada bulan Februari dan 2.68 % pada bulan Januari. Pada grafik 1 menunjukkan bahwa pandemi covid-19 menyebabkan penurunan tingkat inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat permintaan masyarakat menurun selama covid-19 berlangsung.
Kondisi inflasi di Indonesia cenderung menurun karena rendahnya tingkat permintaan masyarakat. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) turut andil dalam menekan tingkat inflasi. Dimana mobilitas masyarakat terganggu guna menekan penyebaran covid-19. Tingkat pendapatan masyarakat Indonesia turun karena adanya praktik PHK selama pandemi. Hal ini membuat penurunan daya masyarakat.
Bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk mempertahan stabilitas harga dikala pandemi berlangsung dan inflasi tahunan Indonesia (bulan ramadhan). Kebijakan fiskal berupa pembebasan biaya listrik untuk 400 Va dan diskon 50% untuk 900 Va. Hal ini dapat menekan biaya produksi yang menyebabkan penurunan harga. Kemudian daya beli masyarakat akan lebih meningkat. Selain itu adanya penangguhan cicilan kredit perbankan untuk sektor tertentu juga mendorong produktivitas. Bauran kebijakan moneter dan fiskal bertujuan untuk stabilitas harga melalui mempertahankan daya beli masyarakat dan produktivitas.
Kebijakan fiskal lainnya adalah pemberian bantuan tunai. Implementasi kartu pra kerja juga mendorong daya beli masyarakat ditengah krisis pandemi. Pada kondisi abnormal seperti ini, pemerintah dituntut untuk melakukan adaptasi baik dari sisi ekonomi maupun kelembagaan. Dengan itu maka diperlukan peran pemerintah sebagai otoritas fiskal dan bank sentral sebagai otoritas moneter makroprudensial harus saling bekerja sama menstabilkan inflasi sesuai target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia.