Virus korona (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan SARS Cov 2. Penyakit ini pertama kali teridentifikasi pada Desember 2019 di Kota Wuhan Provinsi Hubei China, dan sejak saat itu menyebar ke seluruh dunia.
Pada tanggal 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan penyakit ini sebagai pandemi karena meluasnya penyebaran virus ini hingga lebih dari 100 negara dan tingginya tingkat mortalitas. Sampai tanggal 1 April 2020, secara global 943.692 orang telah terjangkit virus korona, 47.181 meninggal dunia dan 193.989 sembuh.
Menurut WHO, langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebaran pandemi COVID-19 adalah dengan cara social distancing/jarak sosial.
Hal ini dilakukan karena pandemi ini dapat menyebar melalui kontak langsung antara pasien dengan orang lain. Sehingga pemerintah Indonesia menetapkan langkah mitigasi untuk mengurangi penyebaran pandemi ini.
Dengan adanya pandemi ini, menciptakan tradeoff antara kesehatan masyarakat dan ekonomi. Suatu negara tidak mungkin mendapatkan kedua hal tersebut dengan tingkat utilitas yang sama.
Jika pemerintah menetapkan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, maka mereka harus mengorbankan kesehatan masyarakat. Perekonomian akan tetap stabil namun semakin lama kesehatana masyarakat akan semakin menurun yang saat ini terjadi di Amerika Serikat. AS merupakan negara yang terlambat dalam penanganan pandemi ini.
Dan apabila pemerintah cenderung untuk menjaga kesehatan masyarakat, negara harus mengorbankan stabilitas ekonomi. Seperti negara China yang saat ini berada pada fase recovery, mereka mengorbankan perekonomiannya untuk sementara waktu dengan tujuan untuk membatasi penyebaran pandemi ini.
COVID-19 berdampak pada ketidakpastian global. Chen Liming (2020) dalam artikelnya menyampaikan bahwa ketidakpastian kebijakan ekonomi berdampak positif dan secara signifikan terhadap volatilitas nilai tukar. China, AS, Eropa, dan Jepang berdampak signifikan, sedangkan Hong Kong tidak signifikan terhadap volatilitas nilai tukar.
Selama masa pandemi ini berlangsung, BI mencatat sejak 20 Januari -- 30 Maret arus modal asing keluar (capital outflow) mencapai Rp167,9 triliun yang terdiri dari surat berharga negara (SBN) Rp 153,4 triliun dan saham Rp13,4 triliun. Besarnya volume capital outflow menyebabkan perlemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hingga pada tanggal 31 Maret 2020 kurs tupiah terhadap dolar mencapai Rp16.448 berfluktuasi sejak awal tahun 2020. Capital outflow tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan berdampak secara global. Untuk mengatasi kepanikan investor asing, BI menetapkan triple intervention, yaitu stabilitas nilai tukar melalui menjual valas, domestik non-delivery forward (DNDF) dan menyerap SBN yang dilepas investor di pasar sekunder.
Perlu adanya stimulus fiskal dan stimulus moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ditengah pandemi COVID-19. Pada tanggal 19 Maret 2020 BI 7 Day reverse repo rate menunjukkan penurunan sebesar 25 bps dari 4,75% menjadi 4,50%. Penurunan ini sebagai respon dari BI dalam jangka pendek untuk mempertahankan perekonomian. Stimulus pada sektor fiskal mencakup relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) pada pasal 21, 22, dan 25. Sedangkan stimulus non fiskal berupa: penyederhanaan/pengurangan Lartas (larangan terbatas) ekspor dan impor; percepatan proses ekspor-impor untuk Reputable Trader dengan cara membedakan perlakuan layanan/pengawasan kepada 625 perusahaan Mitra Utama Kepabeanan (MITA) dan 109 perusahaan Authorized Economic Operator (AEO); serta percepatan proses ekspor-impor melalui National Logistics Ecosystem.
Transmisi Kebijakan