Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Hidayat

Tertarik pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan.

Kecelakaan Lalu Lintas, Anak Menteri dan Jalur Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecelakaan lalu lintas? Bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Apalagi dengan kondisi perlalulintasan di Indonesia yang kacau balau. Kita semua bisa jadi korban, korban dari sistem yang kacau ini. Kasus yang sangat populer saat ini adalah kasus kecelakaan yang menimpa seorang anak menteri. Kali ini episode kecelakannya, melengkapi episode lain, sangatlah bombastik. Kasus ini jadi pembahasan banyak orang karena menyangkut seorang anak pejabat tinggi yang berada di pucuk kekuasaan negeri ini. Komentar para pembaca di media online hampir seragam bahwa anak pejabat harus diperlakukan sama dengan warga lain. Jangan sampai kasus ini didiamkan dan berakhir dengan "damai". Hukum harus ditegakkan dan POLRI harus tegas menindak tanpa pandang bulu.

Saya setuju,  bahwa semua orang sama di mata hukum. Bahwa pelaku kecelakaan lalulintas patut diproses secara hukum. Namun demikian kadang kita suka lupa bahwa seringkali dalam kehidupan sehari-hari, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas tak banyak orang yang mau berurusan panjang dengan jalur hukum. Sering kali kita mendengar kata "DAMAI" atau damai-damai dalam penyelesaian kasus kecelakaan. Ini bukan hanya menyangkut anak pejabat, tapi merata di semua strata. Jadi agak lucu juga ketika tiba-tiba banyak orang menuntut penyelesaian secara hukum ditegakkan pada kasus anak menteri ini sementara di kehidupan sehari-hari praktek itu sangat langka ditemui. Ini seperti marah pada polisi karena kena tilang (resmi atau tidak resmi) tapi malas menuruti aturan lalu lintas dan bersedia membayar polisi untuk cari jalan damai.

Hukum jalan raya yang dipakai selama ini adalah yang lebih besar adalah yang salah (dan yang kaya yang salah). Kalau terjadi satu kecelakaan antara sepeda dan sepeda motor, maka yang salah adalah sepeda motor. Demikian pula kalau terjadi kecelakaan antara sepeda motor dan mobil, maka selalunya mobil yang disalahkan. Atau paling tidak, walaupun yang besar dianggap benar (karena kecelakaannya sangat jelas) maka tetap yang besar menanggung kerugian seperti biaya berobat dan lain-lain. Dan tentunya, penyelesaian seperti ini tidak dilakukan dalam koridor hukum formal. Walaupun terlihat tidak masuk akal, seperti itulah kenyataan yang terjadi sampai saat ini. Harus kita akui bersama.

Ada banyak pertimbangan ketika masyarakat mengambil jalan damai untuk penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Diantaranya adalah tidak mau repot berurusan dengan polisi. Ini karena persepsi di masyarakat yang menganggap bahwa urusan dengan polisi sangat ribet dan mungkin-mungkin akan keluar uang lebih banyak. Sudahlah terkena "musibah" (kecelakaan dianggap musibah), harus keluar uang untuk urusan sana-sini pula. Namun sepengetahuan saya, urusan hindar-menghindar dari urusan dengan polisi adalah karena sebenarnya masyarakat (yang terlibat dalam kecelakaan) juga turut bersalah dalam kecelakaan itu. Misalnya mengendarai motor tanpa surat-surat, tanpa helm, tidak ikut aturan lalulintas, ngebut dan lain-lain. Sehingga jika kasusnya  ditangani oleh polisi, ada kemungkinan mereka ikut disalahkan terutama atas pelanggaran lalu lintas yang telah dilakukan. Oleh karenanya masyarakat lebih memilih untuk cari jalan damai saja. Namun demikian, alasan yang selalu dikemukakan adalah urusan dengan polisi berarti repot dan uang keluar. Padahal sebenarnya yang sering terjadi adalah bentuk penghindaran atas konsekuensi hukum akibat perbuatan (pelanggaran lalu lintas) yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Ada pula pertimbangan damai ini karena pertimbangan "kasihan sosial". Misalnya si pelaku adalah kepala keluarga dengan tanggungan yang banyak. Sehingga jalan damai lebih baik ditempuh daripada harus masuk penjara dalam waktu lama. Bukan apa-apa, kalau si pelaku dipenjara, maka keluarga pelaku akan kesulitan secara ekonomi. Oleh karena itu diupayakan sedaya upaya agar kasus bisa selesai dengan damai walau harus mengeluarkan biaya juga (mungkin dengan berhutang atau ditanggulangi bersama keluarga).

Ada juga contoh lain misalnya kecelakaan yang melibatkan  oleh anak muda (anak sekolah atau mahasiswa), yang seperti kita ketahui sering ugal-ugalan dan melanggar aturan lalu lintas. Jika terjadi kecelakaan, para orang tua dan keluarga sering mencari jalan damai. Alasannya adalah mereka tidak mau anaknya dipenjara. Tidak rela kalau waktu anaknya habis di dalam penjara dan tentunya akan memalukan keluarga. Masyarakat juga mengiyakan hal ini. Sangat disayangkan jika anak muda masuk penjara karena kecelakaan lalu lintas yang menurut mereka bukan suatu kejahatan.

Alasan lain adalah bahwa kecelakaan masih dianggap sebagai "musibah" yang artinya sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Kalau ada korban jiwa, maka itu sudah ajalnya, sudah kehendak Yang di Atas. Tidak perlu ada tindakan hukum. Konsekuensi dari pemikiran itu adalah penyelesaian di luar koridor hukum alias penyelesaian damai. Tidak mau ribut dan pasrah menerima apa yang telah terjadi.

Jadi intinya kejadian minta damai ini bukan hanya perilaku orang berduit atau anak pejabat saja. Melainkan di berbagai strata masyarakat dan didukung pula oleh masyarakat.

Kembali ke kasus anak menteri tadi apa yang bisa kita pelajari dari kasus itu? Bahwa kecelakaan bisa terjadi pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu semua orang dituntut untuk berhati-hati dan mematuhi peraturan lalu lintas (tanpa harus ada polisi).

Selanjutnya, soal penegakan hukum adalah soal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun kembali lagi kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini kita sudah patuh pada aturan lalu lintas? Penegakan hukum juga harus didukung oleh masyarakat dan harus menjadi budaya. Jangan cuma berkoar ketika ada kasus menyangkut pejabat atau kasus yang melibatkan orang kaya. Banyak kasus kecelakaan yang ada di sekitar kita yang harus jadi perhatian dan ketika itu menyangkut pada diri kita atau keluarga kita, maukah kita ikut bersama-sama menegakkan hukum?

Akhirnya apa yang dikampanyekan oleh Korlantas POLRI dan NTMC haruslah kita camkan."Jadilah Pelopor Keselamatan Lalu Lintas dan Budayakan Keselamatan Sebagai Kebutuhan" Mudah-mudahan kecelakaan tidak terjadi pada diri kita dan kita tidak menjadi penyebab kecelakaan pada orang lain.

wassalam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline