Lihat ke Halaman Asli

Camelia Ahmad

Belajar jadi Penulis

Mana yang Lebih Dahulu, Melakukan Pekerjaan atau Kontrak?

Diperbarui: 26 Juni 2023   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Dari kedua pilihan ini sering kali berakhir pada pilihan melakukan pekerjaan terlebih dahulu, para pihak menganggap kontrak hanya sekedar proses administrasi yang tidak penting, sehingga kontrak yang dibuat hanya merujuk pada template tanpa memperhatikan kebutuhan pekerjaan atau kebutuhan dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya, atau bahkan pekerjaan yang dilakukan tidak diikuti dengan kesepakatan tertulis dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, para pihak menganggap kontrak sebagai proses yang berbelit dan dapat menghambat pekerjaan dan keuntungan yang akan didapatkan, sayangnya pemikiran dan kondisi seperti ini masih sering ditemukan, meskipun hal tersebut merupakan pemahaman yang keliru. Terlepas dari seberapa besar nilai dan kompleksnya pekerjaan tersebut. Apakah para pihak yang bekerjasama perlu menyepakati lebih dahulu pekerjaan yang akan dilakukan dalam bentuk kontrak tertulis? Apa pentingnya kontrak tertulis ini untuk para pihak?.

Untuk memberikan pemahaman yang utuh, maka sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan kontrak yang juga dapat dipahami sebagai perjanjian. J. Satrio, S.H., (Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku 1), 2001; 11) pada pokoknya mengatakan Perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak, di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Selain itu, Prof. R. Subekti, S.H (Hukum Perjanjian, 1979;1) berpendapat yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Hal ini seiring dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sebagai berikut:

"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih."

Dengan merujuk pada pemahaman yang disampaikan oleh para ahli dan merujuk pada ketentuan dalam KUHPerdata, dapat disimpulkan unsur-unsur dari pengertian perjanjian, sebagai berikut:

  • para pihak minimal terdiri dari 2 (dua) orang;
  • terdapat hubungan yang timbal balik di antara keduanya;
  • ada pekerjaan yang akan dilakukan; dan
  • terdapat hak dan kewajiban yang mengikat masing-masing pihak.

Meskipun Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak memberikan persyaratan khusus mengenai bentuk perjanjian atau kontrak harus dibuat dalam bentuk tertulis, artinya para pihak mungkin saja membuat kesepakatan secara lisan. Sehingga, dalam hal terdapat suatu kondisi A meminta B melakukan suatu perbuatan dengan biaya Rp X, lalu B melakukan perbuatan yang diminta A tersebut, Maka pada dasarnya antara A dan B telah terikat pada suatu kesepakatan lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Namun, tidak jarang ditemui peristiwa perselisihan yang timbul setelahnya di antara A dan B seperti; scope of work yang tidak sesuai dengan pembicaraan awal, atau A yang tidak kunjung membayar B meskipun pekerjaan telah lama diselesaikan, atau pekerjaan yang dilakukan B tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh A dan permasalahan-permasalahan lainnya.

Permasalahan-permasalahan tersebut akan menjadi semakin rumit ketika masing-masing pihak beragumen sebatas pada ingatan mereka dari apa yang disepakati di awal. Kondisi ini hanya akan menimbulkan beberapa potensi resiko di antara para pihak, antara lain:

  • tidak memiliki rujukan yang jelas mengenai apa yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak;
  • sulit untuk diketahui apakah kesepakatan yang dibuat telah memenuhi unsur syarat sahnya suatu perjanjian atau belum;
  • tidak memiliki bukti secara tertulis sehubungan dengan isi kesepakatan yang dibuat;
  • tidak memiliki rujukan bagaimana penyelesaian perselisihan di antara keduanya, apakah melalui jalur pengadilan, atau arbitrase;
  • perselisihan diperumit dengan prasangka-prasangka dan asumsi dari masing-masing pihak;
  • hubungan antara para pihak menjadi tidak lagi harmonis.

Sehingga, demi untuk kebutuhan kepastian hukum dan jaminan para pihak mengenai apa yang disepakati membutuhkan dokumentasi yang tegas, jelas dan nyata. Tentunya diperlukan persamaan pemahaman terlebih dahulu yang dituangkan dalam bentuk kontrak secara tertulis. Mengapa sebelum pekerjaan dilakukan?, penting untuk dipahami bahwa sebelum pekerjaan dilakukan para pihak memiliki visi misi yang sama untuk mengerjakan dan menanggung hak dan kewajiban di antara keduanya, posisi para pihak sejajar dan dalam kondisi yang baik-baik saja. Kondisi seperti ini merupakan kondisi terbaik untuk para pihak duduk bersama merumuskan secara seksama pekerjaan yang akan dilakukan dalam bentuk kontrak secara tertulis. Sedari awal, para pihak sudah dapat menyepakati secara tegas batasan yang ada di antara mereka, bentuk perjanjian yang akan disepakati, pekerjaan yang akan dilakukan, biaya, tanggung jawab, bagaimana upaya penyelesaian perselisihan yang diharapkan, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, kontrak yang dibuat para pihak ini akan menjadi pedoman untuk keduanya selama berlangsungnya kerjasama, hal ini secara tegas dinyatakan oleh Pasal 1338 KUHPerdata, sebagai berikut:

"semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"

Pembuatan kontrak di awal merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh para pihak. Sayangnya, tidak jarang terdapat pemikiran yang ditemui bahwasannya para pihak tidak menginginkan terjadi perselisihan di antara keduanya dikemudian hari sehingga merumusukan hal-hal tersebut dalam bentuk kontrak tertulis selain merepotkan juga seolah-olah menjadi hal yang tabu. Hal ini tentunya pemikiran yang jelas-jelas keliru, pembuatan kontrak di awal merupakan keputusan yang sangat bijak untuk para pihak memitigasi risiko yang tidak diinginkan dikemudian hari. Meskipun kemungkinan terjadi perselisihan di antara keduanya tetap ada, namun kesepakatan tertulis yang dibuat sebelumnya akan membantu mereka untuk menentukan upaya-upaya hukum apa saja yang dapat ditempuh dan menjadi alat bukti yang dapat digunakan dalam hal terjadi perselisihan di pengadilan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline