Lihat ke Halaman Asli

Geovanny Calvin Pala

Seorang pencinta dan penggiat sastra. Berbekal ilmu Filsafat yang telah ia rampungkan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, ia kini mengajar di SMAS Seminari San Dominggo Hokeng. Penggemar karya-karya Ayu Utami ini mengisi waktu luangnya dengan menghasilkan berbagai tulisan di media-media. Baginya, menulis bukan merupakan usaha untuk mencari isi kebenaran, melainkan untuk melatih cara berpikir demi mendekati kebenaran.

Sendang Berdarah

Diperbarui: 29 Juni 2021   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gara-gara air, kubiarkan telapak kakiku memar. Telah setengah jam kususuri jalan setapak berpayungkan rimbun pepohonan pakis. Udara masih lembab. Setapak ini semakin curam saja.

Perjalanan ini bagaikan menuntunku turun semakin jauh menuju dasar sebuah kuali raksasa. Kuali tersebut berbentuk lembah, tempat orang-orang desa menimba air sambil menenteng jerigen-jerigen putih. Dulu, para tetua kampung menjelajahi sisi-sisi hutan yang belum terjamah. Pada salah satu lembah, mereka terkesan menemukan mata air berbentuk sendang-sendang kecil. Lembah yang sama itulah yang sedang kulalui.

Ada empat sendang di dasar lembah. Yang terbesar diberi nama Pitun. Induk mata air. Luasnya sekitar tiga kali rentangan lengan orang dewasa. Ketiga sendang lainnya bertempat di sekeliling sendang utama. Anang, Manuk dan Duan, demikianlah orang-orang desa menamai mereka. Di antara keempatnya, Anang adalah sendang paling kecil. Manuk yang terdalam di antara semuanya. Di sisi paling timur, Duan adalah sendang yang paling banyak dikitari tumbuhan dan lumut. Yang paling mistis dan sakral di antara mereka adalah Pitun.

Keempat sendang terhubung dalam satu jaringan aliran bawah tanah. Jaringan itu menciptakan jalur dan cabang-cabangnya sendiri. Lagaknya seperti sistim saraf atau pembuluh darah bawah tanah. Melaluinya, tonjolan-tonjolan akar menyerap air untuk menopang kehidupannya. Pakis, mahoni, gaharu, dan ratusan spesies pepohonan lainnya berjubelan. Lumut dan jamur menambal setiap inci lahan yang tak terjamah. Semua tertutup rapat vegetasi hidup.

"Air adalah darah hutan, nadi yang terus bergerak dan membawa semua rahasia alam semesta dari akar ke akar, daun ke daun, batang ke batang hingga melekat dalam daging buah dan menguar bersama aroma harum bunga," demikian kata bapak sebelum aku pergi. Sebagai seorang putra kepala adat di desa, bapak selalu memiliki cerita. Hampir tentang apa saja yang bisa orang kampung pikirkan.

"Ingat nak, semua tumbuhan berbagi rahasia alam yang sama karena air," lanjut beliau sambil menatap tunggul pohon yang beberapa detik lalu ia potong. Aku tak sesombong itu menolak dengar cerita mitos dari bapak, tapi aku juga tak sebodoh itu menganggap penjelasan mitologisnya sebagai kebenaran faktual.

Jika mata air adalah darah dari hutan, apakah aku ini nyamuk yang setiap hari menimba dan meminum darahnya? 

Setiap kehidupan adalah bentuk penghisapan dari kehidupan lainnya. Di dunia ini hanya ada parasit dan parasit.

Jempol kakiku kembali terantuk entah untuk yang keberapa kalinya. Darah segar mengucur dari sela kuku. Umpatan tak sedikitpun mengurangi rasa perih. Kurelakan beberapa tetesnya dihisap tanah dengan lahap. Mungkin tanah memang sedang membutuhkan pendonor. Bukankah di berita-berita, media selalu menampilkan keadaan alam yang sedang sakit. Butuh darah.

Kemarin aku menonton berita di rumah kepala desa bersama sekelompok besar warga lain. Maklum, saat itu, satu-satunya televisi adalah milik kepala desa. Dibeli sudah sejak setahun lalu. Desa sebelah membuat proyek pembangunan toko-toko swalayan. Habis sudah berhektar-hektar kawasan hutan dibabat rata. Sendang dan mata air lenyap. Pakis dan mahoni hanyut dibawa proyek berskala besar tersebut. Anak-anak kecil tidak lagi ditugaskan oleh orangtua mereka untuk mengambil air di sendang. Air yang bersih kini diperoleh melalui pipa-pipa kecil di sekeliling kampung. Tentu saja setelah itu, tarif akan dikenakan sesuai jumlah volume air yang diambil.

Orang-orang desa sebelah mulai terbiasa dengan bunyi mesin bor dan mesin pompa air. Tanah dilubangi. Air dihisap secara paksa melalui saluran-saluran pipa yang lama berlumut. Air yang dulu sebersih jendela gedung balai desa berangsur-angsur menjadi keruh dan amis. Itu yang dikatakan modern? Persetan dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline