Lihat ke Halaman Asli

Menggapai Toleransi Melalui Pendidikan

Diperbarui: 21 November 2024   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"The highest result of education is tolerance" - Helen Keller


Ekskursi ini memberi saya kesempatan untuk belajar, tidak hanya tentang gaya hidup para santri, tetapi juga tentang nilai menghargai perbedaan dan kesederhanaan hidup. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Tasikmalaya yang memakan waktu sekitar 6,5 jam, kami akhirnya tiba di Pondok Pesantren Muhammadiyah Amanah. Sambutan hangat dari para santri membuat saya langsung merasa diterima. Kami berkenalan dengan mereka satu per satu, bahkan bersalaman untuk mempererat silaturahmi. Dari awal, saya merasakan semangat kebersamaan yang kuat di lingkungan pesantren.
Saat diberi pengantar oleh mudir pondok pesantren serta guru-guru pendamping kami (Pak Hen), saya mulai memahami nilai-nilai yang dipegang dan ditanamkan kepada para santri. Nilai ketulusan dan keikhlasan yang mereka tunjukkan memberikan pelajaran berharga tentang arti hidup yang sebenarnya. Bahkan dalam keterbatasan fasilitas, mereka tetap bersikap positif dan optimis, sebuah sikap yang patut ditiru.
Nilai-nilai tersebut semakin terlihat ketika kami mengikuti berbagai kegiatan bersama mereka. Sikap gotong royong, saling membantu, dan kebersamaan menjadi pemandangan sehari-hari di pesantren. Hal ini membuat saya semakin sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu tergantung pada materi, tetapi lebih kepada kualitas hubungan antar sesama.

Kami kemudian diberi tur mengenal lingkungan pondok dan diperkenalkan lebih lanjut dengan teman-teman santri. Salah satunya, Mulcan, beliau memperkenalkan kepada saya pada kebiasaan para santri di pesantren. Setelah tur singkat, kami mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang diikuti para santri. Saat itu, saya bersama beberapa teman sekelompok dan santri-santri mengelilingi dan mengamati berbagai ekstrakurikuler yang tersedia. Melihat kehidupan mereka yang terstruktur dan disiplin, membuat saya menyadari bahwa setiap individu di sini berusaha mengembangkan dirinya dengan penuh semangat.
Pada hari pertama ini, saya belajar tentang pentingnya adaptasi dan rasa hormat terhadap budaya yang berbeda. Saya harus keluar dari zona nyaman saya untuk memahami pola hidup yang jauh dari keseharian saya di kota. Perasaan kagum dan ketertarikan yang muncul mendorong saya untuk lebih terbuka dalam memahami dan menghargai nilai-nilai hidup yang dimiliki oleh para santri. Pengalaman ini membuka mata saya untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda dan menghargai kehidupan yang lebih sederhana.
Hari kedua di pesantren tidak kalah menarik. Kami dibawa ke Gunung Galunggung, sebuah pengalaman yang menantang tetapi penuh makna. Mendaki hingga puncak gunung, meskipun melelahkan, memberikan rasa puas yang tak tergantikan. Melihat semangat dan kebersamaan para santri dalam menghadapi tantangan membuat saya semakin menghargai nilai-nilai kebersamaan yang mereka miliki.

Pada hari kedua, kami dibawa ke Gunung Galunggung. Kami menaiki truk bersama-sama dalam perjalanan menuju gunung dan meskipun dalam kesederhanaan, saya bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari para santri. Mereka mampu menemukan kegembiraan dalam hal-hal sederhana, seperti perjalanan bersama dan keindahan alam sekitar. Mendaki hingga puncak gunung menjadi pengalaman yang unik. Di puncak, rasa lelah setelah menaiki 620 anak tangga hilang dan tergantikan oleh rasa puas dan syukur atas kebersamaan.
Ketika kembali ke pesantren, kami beristirahat sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, yaitu "vocab" atau belajar kosa kata bahasa Inggris dan Arab bersama para santri. Kami diajak untuk ikut serta dalam mengajarkan mereka bahasa Inggris, melalui kegiatan ini saya secara langsung dapat memahami sejauh apa kemampuan mereka. Hal ini membuat saya bersyukur atas akses pendidikan yang saya dapatkan dan menghargai perjuangan orang tua dalam menyekolahkan saya.
Pada malam harinya, kami mengadakan pertunjukan nyanyi yang melibatkan perwakilan dari santri dan kelompok kami. Melalui kegiatan ini, kami berbagi kegembiraan dan menunjukkan apresiasi terhadap budaya masing-masing. Kegiatan ini menjadi salah satu momen yang paling berkesan karena kami dapat berinteraksi secara langsung dengan para santri dan menunjukkan solidaritas melalui seni dan budaya.

Pada hari kedua ini, saya belajar bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada materi atau fasilitas yang kita miliki, melainkan pada bagaimana kita mensyukuri kebersamaan dan kesederhanaan hidup. Perasaan yang muncul adalah rasa syukur dan kagum melihat ketulusan para santri dalam menikmati setiap momen meski dalam keterbatasan material. Mereka menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hati yang tulus dan ikhlas dalam menjalani kehidupan.
Hari ketiga tiba, saatnya untuk kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri untuk berbincang dengan Mulcan sekali lagi. Kami berbicara tentang pengalaman kami selama tiga hari ini dan bagaimana masing-masing dari kami mendapatkan pelajaran baru dari pertemuan ini. Kegiatan tiga hari ini membuat saya menyadari pentingnya menghargai sesama, terutama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang.
Ekskursi ke Pondok Pesantren Muhammadiyah Amanah adalah pengalaman yang membuka mata dan hati saya. Dari mengenal para santri, merasakan kebahagiaan dalam kesederhanaan, hingga akhirnya perpisahan, saya belajar banyak tentang menghargai perbedaan. Kegiatan ini mengajarkan saya bahwa perbedaan bukanlah halangan, melainkan kesempatan untuk memahami lebih dalam nilai-nilai kehidupan yang dimiliki setiap orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline