Beberapa waktu ini saya mendapat giliran bertugas di bangsal kanker pria. Sebuah kesempatan langka oleh karena di masa-masa tugas sebelumnya saya memang jarang sekali menjumpai kasus onkologi, terutama sebelum masuk ke dunia PPDS.
Saya akhirnya bisa menjumpai banyak kasus keganasan dari berbagai jenis dan organ tubuh. Mayoritas dipenuhi oleh pasien yang hendak melanjutkan kemoterapi, namun ada juga yang baru pertama kali hendak mendapat kemoterapi.
Sebelum menjalani PPDS, terakhir saya bertemu kasus keganasan yaitu saat sedang bertugas jaga di Puskesmas, di hari-hari terakhir sebelum berangkat ke Semarang setelah pengumuman kelulusan PPDS keluar.
Pasiennya seorang laki-laki berusia sekitar 30-an awal, datang dengan keluhan lemas, tampak pucat disertai pembesaran limpa dan memar di beberapa bagian tubuhnya. Dia sudah menjalani pemeriksaan sumsum tulang di RS rujukan provinsi namun saat ke Puskesmas sayangnya tidak membawa hasilnya.
Namun dari keterangannya dan dugaan awal saya sama, itu merupakan leukemia atau kanker darah. Untuk perbaikan keadaan umum langsung saya rujuk dikarenakan minimnya fasilitas yang ada di puskesmas untuk kasus seperti itu.
Alasan mengapa saya menceritakan ini erat hubungannya dengan sebuah buku. Ya, buku tentang kanker. Tapi tentu saja bukan sebuah textbook, hahaha. Ini sebuah buku dari Siddharta Mukherjee, judulnya The Emperor of All Maladies - The Biography of Cancer.
Buku ini menjadi salah satu dari beberapa buku yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Kalangan non-medis pun saya yakin sangat mudah untuk mencintainya karena tidak dipenuhi dengan istilah-istilah medis yang rumit dan membosankan, bahkan sangat intim menceritakan tentang kanker - masa lalu, sekarang, dan di masa depan - dengan bahasa yang menurut saya cukup sederhana.
Tapi jangan salah, "kesederhanaan-nya" tidak lantas membuat buku ini memiliki rating yang jelek, faktanya buku ini pernah menjadi pemenang Pulitzer Prize di tahun 2011 untuk kategori non-fiksi umum, salah satu penghargaan bergengsi di dalam dunia literatur, jurnalisme, dan komposisi musik di USA.
Satu hal yang sangat berkesan di dalam buku ini adalah saat penulis menganalogikan perjuangan mengobati kanker sebagai sebuah arena pertempuran, di mana di dalamnya tentu saja ada saat menang dan kalah, berpindah dari arena pertempuran yang satu ke yang lainnya, dan ada pahlawan dan yang bertahan. Tentu saja juga ada yang terluka dan terlupakan, mereka yang sudah berjuang namun akhirnya harus menyerah.
Ya, bagi sebagian besar orang, jika tidak semuanya, bila mendengar kata "kanker" saja sudah bisa menimbulkan bayangan kengerian akan suatu hal yang menggerogoti tubuh tanpa ampun, dan sayangnya, belum ada obat yang hampir pasti akan bisa menyembuhkannya.
Belum lagi dengan bayangan akan menjalani proses pengobatan yang memakan waktu yang seringkali sangat lama, dipenuhi berbagai efek samping yang saking mengganggunya seringkali membuat kita bertanya, apakah ini sebanding?