Saat ini marak sekali diperbincangkan isu bonus demografi di Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Era bonus demografi telah dimulai pada tahun 2020 dimana jumlah penduduk usia produktif sangat melimpah sehingga Indonesia berpotensi keluar dari zona middle income trap. Data menunjukkan penduduk usia produktif Indonesia mencapai hampir 70 persen dari total penduduk atau sekitar 190,23 juta jiwa.
Dalam model pertumbuhan ekonomi Robert Solow dijelaskan bahwa pertumbuhan angkatan kerja sebagai modal fisik sangat penting dalam meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi disamping kapital atau modal. Keberadaan jumlah penduduk usia produktif sangatlah penting sebagai modal pembangunan bangsa. Namun dalam menuju Indonesia emas 2045, kuantitas saja tidaklah cukup. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia agar tingkat produktivitas yang diharapkan dapat tercapai dengan optimal.
Pembangunan sumber daya manusia bukanlah sesuatu hal mudah dan cepat. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami berbagai permasalahan yang turut menghambat pembangunan SDM. Salah satu masalah paling pelik adalah pendidikan. Memang persoalan pendidikan bukanlah satu - satunya masalah pembangunan SDM, namun pendidikan dianggap sebagai aspek paling fundamental yang menentukan nasib masa depan seseorang karena memberikan peluang besar dalam proses akumulasi kapital seseorang, dalam hal ini memperoleh pekerjaan yang layak dengan upah yang tinggi sehingga kualitas hidup lebih terjamin seperti akses tempat tinggal, kesehatan, keuangan, termasuk juga pendidikan bagi generasi selanjutnya.
Namun tampaknya arah kebijakan pendidikan di Indonesia masih belum konsisten karena setiap pergantian pemerintahan kurikulum dan sistem pendidikan selalu berubah - ubah. Bahkan menurut riset oleh Profesor Harvard, Lant Pritchett, kualitas pendidikan Indonesia tertinggal jauh selama 128 tahun. Padahal di sisi lain Indonesia mempunyai potensi besar penduduk produktif hingga tahun 2030. Pertanyaannya, apakah pendidikan saat ini dapat menjamin kualitas SDM sebagai modal menuju Indonesia emas tahun 2045?
Beberapa kebijakan pendidikan tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Menurut asesmen pendidikan yang menilai capaian pendidikan suatu negara dari PISA (Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan bahwa capaian pendidikan yang diukur berdasarkan minat membaca, matematika, dan sains tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Padahal sejak dimulainya era reformasi hingga saat ini kurikulum pendidikan di Indonesia telah berubah sebanyak 5 kali.
Kesuksesan suatu kurikulum pendidikan terletak pada kemampuan pengajar. Pengajar yang kompeten dan cepat dalam menyesuaikan diri pada perubahan kurikulum sangat penting dalam menunjang kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun masalahnya kualitas pengajar di Indonesia terhitung masih cukup rendah terutama di sekolah - sekolah negeri. Hal tersebut disebabkan oleh sistem perekrutan guru yang tidak sesuai standar mutu pendidikan, beban administrasi guru yang padat, hingga upah yang minim.
Salah satu kebijakan pendidikan lainnya yang menuai kontroversi dari masyarakat hingga saat ini adalah sistem zonasi dimana sistem seleksi masuk jenjang sekolah dasar hingga menengah atas didasarkan oleh jarak rumah dengan sekolah. Sistem ini diberlakukan dengan tujuan pemerataan pendidikan sehingga tidak ada lagi stigma masyarakat yang mengagung-agungkan salah satu sekolah sementara sekolah lainnya dipandang sebelah mata. Meskipun demikian, sistem seleksi berdasarkan nilai tetap dilaksanakan hanya saja porsi yang diberikan tidak sebesar sistem zonasi yang mencapai minimal 50 persen. Namun pelaksanaan yang begitu cepat dan tidak diiringi dengan perbaikan kualitas yang menyeluruh pada sekolah menimbulkan masalah baru. Sistem ini dirasa menurunkan jiwa kompetitif antar siswa dalam belajar sehingga output yang dihasilkan adalah siswa - siswa dengan rasa keingintahuan dan eksplorasi pengetahuan yang rendah. Padahal dalam dunia kerja jiwa kompetitif sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan karir.
Pendidikan di Indonesia juga belum banyak mengadopsi teknologi sebagai bagian dari sistem belajar-mengajar. Hal ini terbukti bahwa selama pandemi covid-19 kondisi learning loss yang dialami siswa terjadi akibat pengajar belum mumpuni dalam menguasai teknologi pendidikan. Kurikulum pendidikan Indonesia juga belum banyak memasukkan pendidikan teknologi misalnya bahasa pemrograman. Menurut HR Forecast, keterampilan akan teknologi sangat berharga di hampir seluruh industri misalnya saja kemampuan programming, analisis data, hingga UI-UX. Bahkan Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa bahasa pemrograman lebih penting dari bahasa inggris. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pada era disrupsi teknologi penting untuk memiliki pengetahuan akan teknologi. Inilah yang seharusnya dipersiapkan Indonesia sejak dulu agar bonus demografi tidak sia - sia.
Keberadaan teknologi juga membuat persaingan pasar tenaga kerja semakin kompetitif. Tenaga kerja manusia tidak hanya berkompetisi dengan tenaga kerja manusia lainnya tetapi juga dengan teknologi. Transisi dari penggunaan tenaga kerja manusia menjadi tenaga kerja mesin atau otomatisasi industri diprediksi mengalami tren peningkatan seiring dengan kebijakan efisiensi perusahaan. Akibatnya mereka yang tidak memiliki kompetensi teknologi akan digantikan oleh teknologi yang lebih efisien sementara mereka yang mempunyai kemampuan teknologi akan menjadi bagian dari proses pengembangan teknologi.