Lihat ke Halaman Asli

"Face in The Crowd"

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat percakapan dengan teman saya. Sebuah percakapan lampau. Saya jadi geli sendiri kenapa suka mengingat-ingat peristiwa lampau. Jangan-jangan saya hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ah, tapi sepertinya tidak. Kan otak kita ini lucu. Suka berandai-andai, menghayalkan peristiwa yang jauh di depan. Namun, kadang-kadang dia keok dengan memori masa lalu. Memori yang suka sok kuasa, mengkudeta pikiran masa kini.

Jadi hari itu, kurang lebih seperti inilah percakapan kami,

I just want to be everything. I haven’t specifically decided it yet. You know, I just don’t wanna be face in the crowd,” jawab saya ketika dia bertanya saya mau jadi apa di masa depan.

Everyone wants it (don’t wanna be face in the crowd) but sadly most of them end being nothing.”

Saya diam saja, dia melanjutkan,

I don’t want to be famous. You know, I just want to play music and have enough food for eating everyday. It’s all about choice. Just imagine, if everyone is not the face in the crowds then we have to memorize millions of people’s name. I think it’s killing. I even got difficulties in remembering the names in my art history book for tomorrow test,” kata si teman yang memang mau jadi musisi indie itu.

Face in the crowd. Wajah dalam keramaian. Seperti wajah-wajah asing tanpa ekspresi yang anda temui saat menunggu kereta datang. Tidak anda kenal dan cepat akan anda lupakan dalam sekejap. Tidak ada orang yang mau jadi orang yang cepat dilupakan dan tidak ada artinya seperti itu. Saya juga mana mau! Kan egonya manusia itu ingin dikenal, dihormati, kalau perlu dikenang-kenang sepanjang abad. Itu lah yang saya maksudkan pada teman saya itu.

Namun, dia memang punya sudut pandang yang berbeda. Baginya hal itu tidak penting. Yang penting adalah mengerjakan apa yang ingin dikerjakan, tanpa memedulikan atensi atau apresiasi orang lain. Memang dia idealis sekali.

Saya hanya menyimpan percakapan itu dalam kepala selama kurang lebih satu tahun. Saya simpan dan saya rawat dalam kepala. Nah, memori itu baru bisa saya telurkan dalam bentuk celotehan ini sekarang.

Kalau saya pikir-pikir ada benarnya pula pikiran si teman. Kenapa harus jadi orang terkenal? Kalau sudah terkenal memangnya apa? Kalau dipuja-puji sana sini dan dielukkan lantas apa? Kalau nama Anda diketahui di seluruh penjuru dunia memang kenapa?

Bisa mendapat pengakuan, begitu, iya? Bisa diakui bahwa Anda hebat, pintar, cantik, jago, tampan, macho, populer, sakti mandraguna? Jadi pengakuan dari orang lain itu sebegitu pentingnya ya?

Terus kalau sudah diakui kenapa? Bisa mendapat berbagai fasilitas dan penghormatan, harga diri meningkat pesat, dan bisa mendapat identitas yang lebih daripada yang sebetulnya, begitu ya? Betapa takluknya manusia dengan sebuah pengakuan.

Kadang saya juga mau diakui. Nggak perlu munafiklah. Bahkan teman saya pun pasti menginginkan sebuah pengakuan. Namun, dia mengingatkan saya bahwa pengakuan bukanlah tujuan. Anda tidak berbuat sesuatu untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Anda tidak melakukan ini atau pun itu untuk dipuji dan dianggap keren atau lebih super daripada yang lain. Anda melakukan apa yang harus Anda lakukan karena Anda tahu itu baik, karena harus, karena Anda akan mengingkari diri Anda sendiri kalau tidak melakukannya. Sejujur-jujurnya dan seluhur-luhurnya. Klise, ya?

Namun, kan, sekarang ini manusia rela antri berjam-jam untuk ikutan kontes ini atau itu supaya mukanya bisa masuk televisi. Supaya diakui paling idola. Miss yang paling universe. Lelaki yang badannya paling penuh otot. Ya terserah sih, tergantung visi dan misi masing-masing. Tapi nggak sedikit toh yang mau terkenal? Ya nggak apa-apa juga sih. Saya nggak melarang.

Mungkin itu ya, yang membedakan Justin Bieber dan Bob Dylan. Bob pernah bilang “Being noticed can be a burden”. Itu yang membuatnya lebih suka untuk “disappeared”. Saya coba-coba cari quotation dari Bieber tapi cuma bisa mengingat perkataannya tentang “random country” itu dan nada baby baby baby ohh yang terkenal sekali tempo hari. Simpulkanlah sendiri.

Teman saya ini membuat saya berpikir untuk fokus ke tujuan, di mana tujuan itu bukanlah ketenaran yang semu. Ketenaran atau apalah namanya itu, toh, cuma kembang-kembang di perjalanan kita? Menjejaki apa yang disebut sebagai “passion” (entah mengapa kata ini sulit sekali saya tuliskan dan sempat membuat saya bergidik sendiri) atau apalah, anda yang bahasakan sendiri, mungkin merupakan tujuan yang lebih penting untuk dilaksanakan.

Kalau hal itu Anda lakukan dengan baik, toh, orang-orang akan memperhatikan secara esensial? Kan itu yang lebih penting?

Ya, menurut saya sih begitu. Terserah menurut Anda. :)

Dedicated to Carl, whoever and wherever you are..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline