“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” -Soe Hok Gie Saya selalu terpukau dengan kalimat Gie tersebut. Kalau saya kontemplasikan, perkataan itu sebetulnya berdinding idealisme yang sangat tebal, penuh dengan semangat "Who cares" pada paradigmasociety yang tumpul, dan sangat jujur. Itu bagi saya. Mungkin bagi orang lain, orang-orang berjiwa tua, kata-kata tersebut tak ubahnya kata-kata penuh arogansi dan tidak menginjak bumi. Mungkin itulah mengapa pula manusia-manusia berjiwa tua seringkali tak ubahnya manusia-manusia menyedihkan. Mana yang Anda pilih, diasingkan karena idealisme Anda atau dipuja sana-sini tapi Anda sendiri tahu, Anda tak ubahnya pengecut yang dengan sukarela mengubur idealisme demi tuntutan keadaan? Munafik menurut KBBI online adalah berpura-pura percaya atau setia kepada agama tertentu, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua. Kalau boleh saya simpulkan, munafik adalah sikap yang menipu, menipu diri sendiri dan orang lain dengan menutupi karakter atau perbuatannya dengan selimut pelindung. Di balik selimut itu, si munafik akan merasa aman atau paling tidak, tertutupi semua keborokannya. Beberapa juga menjadikan kemunafikan sebagai topeng. Dengan topeng itu, dia berharap tampak monsternya dapat tersamar menjadi sesosok malaikat. Munafik itu mungkin dapat berupa sifat tenang-tenang saja dan diam walau keadaan yang di bawah wewenangnya sudah carut marut. Munafik itu dapat pula berupa pidato yang rapi dan indah didengar yang mengalun gemulai saat masyarakat butuh ketegasan dan tindakan patriotik. Munafik bisa pula berupa tunduk pada partai politik seperti kerbau yang dicocok hidungnya, walaupun pemimpin harusnya berjuang untuk rakyat. Munafik bisa juga berupa aksi tutup mata terhadap kondisi republik yang di ujung titik nadir dan tetap berfokus pada segelintir prestasi ekonomi, yang sayangnya hanya dinikmati masyarakat golongan menengah keatas. Kemunafikan itu seperti virus dan berefek domino. Mulai dari posisi yang teratas lalu menyebar ke kroni-kroninya sampai lapisan terbawah. Kemunafikan terjadi di semua aspek hingga televisi penuh dengan orang-orang munafik berdasi dan berseragam. Orang-orang yang kita beri makan dan kita sebut sebagai “Bapak” atau untuk bidang lain “Yang Mulia”. Sebagai seorang mahasiswa, saya sebetulnya malu dengan orang-orang itu. Masa iya mereka tidak malu pada diri sendiri? Munafik tapi tetap omong besar. Merugikan masyarakat tapi sok sok jadi pahlawan. Apa sih yang salah dengan republik ini? Tukang bohong, jagoan korupsi, manusia-manusia gaji buta penggila fasilitas, tukang tilep duit bikin KTP… Miris rasanya kala mengetahui Albertina Ho yang tegas itu diasingkan ke pengadilan daerah. Skenario yang begitu manis tapi kurang cerdas. Kelihatan betul ada pihak yang gelisah dengan wanita yang masih tahu caranya menghargai hukum ini. Yang bertahan pada kebenaran diasingkan. Beberapa orang takut dengan hal ini. Siapa lupa dengan ketegasan Antasari Azhar memberangus korupsi? Siapa pula yang tidak tahu betapa peradilan bersikap begitu ganas terhadapnya sekarang? PK-nya dikandaskan oleh Mahkamah Agung walaupun pihak Antasari punya novum yang perlu dipertimbangkan. MA juga menolak untuk melihat pelanggaran etika hakim di siding Antasari sebelumnya. Antasari diasingkan. Mahkamah Agung. Masih Agung kah Mahkamah Agung? Siapa pihak yang bermain di belakang ini semua? Pihak manakah yang begitu powerful hingga mampu menutupi keagungan badan yang mengaku agung itu? Siapapun itu, yang dapat saya tangkap adalah kemunafikan. Kemunafikan pada hukum. Pada diri sendiri, pada nurani. Saya hanya takut suatu saat republik ini akan didominasi oleh manusia robot. Manusia tanpa nurani lagi. Manusia yang hanya bergerak dan bertindak pada perintah atasan, tanpa tahu itu baik atau buruk. Manusia yang hanya bisa berkata “Yes, boss. No problem. We will finish it. We will be safe. We are powerful.” Manusia tanpa jiwa. Republik robot? Tidak. Bukan begitu idealnya. Seharusnya. Saya tidak mampu mengubah dunia secara keseluruhan, saya tidak bisa membalikan keadaan republik ini dari posisinya yang menyedihkan. Namun, setidaknya saya tidak mau menjadi orang munafik, apalagi menjadi robot. Kejujuran itu mahal. Kejujuran hanya dapat dimiliki oleh orang-orang berjiwa mulia yang kaya akhlaknya. Saya berjuang untuk kejujuran itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H