Lihat ke Halaman Asli

Polemik Tapera Tak Kunjung Reda, Potensi Turunkan Daya Beli

Diperbarui: 20 Juni 2024   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) merupakan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi pesertanya. Saat ini kebijakan Tapera ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat menuai pro dan kontra berbagai kalangan mulai dari Gen-Z hingga generasi millenial.

Mengacu pada PP No. 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, kebijakan ini akan diberlakukan mulai 2027 mendatang, yang dipotong sebesar 2,5% dari gaji dan 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja.

Menurut Presiden Joko Widodo, pemerintah telah melakukan kalkulasi yang cukup matang, serta pro dan kontra mengenai kebijakan Tapera merupakan hal yang wajar.

"Dalam kebijakan yang baru masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat. Seperti dulu BPJS, di luar yang BPI (Bantuan Penerima Iuran) yang gratis 96 Juta (orang) kan juga rame, tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya. Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan (Tapera). Kalau belum, biasanya pro dan kontra." 

Keterangan presiden Joko Widodo ditegaskan kembali oleh Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, bahwa Tapera belum tersosialisasikan dengan baik.

Namun hingga saat ini pemerintah belum memberikan kepastian mengenai jangka waktu diperolehnya rumah dalam kebijakan Tapera.

Disisi lain, Tapera menimbulkan kontroversi karena kurangnya transparansi serta dianggap memberatkan karena bersifat wajib bagi PNS, ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN dan Perusahaan Swasta, serta pekerja lain yang menerima gaji/upah dengan penghasilan minimal sebesar upah minimum.

Riden Hatam Aziz, Wakil Presiden KSPI menyampaikan bahwa target yang disesuaikan untuk menutup inflasi saja tidak terpenuhi.

"Daya beli kami sekarang sangat turun, bahkan kalau saya tarik mundur 3 tahun ke belakang itu kita tidak naik upah, 2 tahun tidak naik UMK-nya." Ujarnya.

Hal ini berpotensi untuk menurunkan konsumsi masyarakat karena tidak disertai dengan adanya peningkatan penghasilan sehingga akan berdampak pada PDB Nasional. Karena sebesar 50% konsumsi masyarakat adalah keperluan konsumsi pangan, Jika terjadi penurunan konsumsi masyarakat maka sektor pangan mengalami penurunan dan berdampak pada kebutuhan gizi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline