Latar Belakang
Laut China Selatan merupakan kawasan geopolitik paling dinamis dan strategis di Asia Pasifik, yang telah menjadi sebuah titik kerumitan yang terjadi didalam beragam hubungan internasional sejak dekade terakhir pada abad ke-20. Wilayah dengan luas 3,5 juta kilometer persegi ini tidak sekadar hanya representasi geografis saja, melainkan juga menjadi sebuah arena pertarungan para pemangku kepentingan global yang melibatkan sejumlah aktor utama yang memiliki klaim territorialnya masing-masing yang saling bertentangan (Kumari, 2024).
Secara geografis, Laut China Selatan mencakup wilayah perairan yang membentang antara Singapura, Malaysia, Kamboja, Thailand, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan China. Kompleksitas kawasan ini terletak pada persilangan kepentingan strategis, ekonomi, dan keamanan yang sangat rumit.
Akar dari konflik ini dapat ditelusuri dari adanya warisan kolonial dan interpretasi sejarah yang beragam. China menggunakan narasi sejarah kuno sebagai landasan klaimnya, merujuk pada dokumen historis yang ada sejak era Dinasti Ming. Klaim "garis putus-putus" (nine-dash line) yang mencakup hampir 90% wilayah laut menjadikannya sebuah bukti yang konkret dari strategi historikal China.
Begitupun dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki perspektif berbeda. Bagi mereka, klaim China merupakan upaya ekspansi yang tidak berdasar pada hukum internasional. Dengan adanya perjanjian UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 seharusnya menjadi solusi, namun faktanya tidak cukup mampu menyelesaikan kompleksitas sengketa yang ada Sebuah keputusan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016 menyatakan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum di bawah UNCLOS (Bautista, 2024).
Dimensi Geopolitik
Grey Zone Warfare
China mengembangkan pendekatan canggih yang dinamakan "grey zone warfare" - sebuah strategi hibrid antara soft diplomacy dan diplomasi konfrontasi militer yang terbuka. Strategi ini merupakan pendekatan geopolitik yang bisa dikatakan sangat kompleks dan canggih, strategi ini dirancang untuk mencapai tujuan strategis tanpa memicu konfrontasi militer secara langsung. Dalam pendekatan ini, China memanfaatkan berbagai instrumen kekuasaan seperti diplomasi, ekonomi, teknologi, dan pengaruh informasi untuk mendorong kepentingannya di wilayah strategis, terutama di Laut China Selatan dan kawasan Asia Pasifik.
Konsep grey zone warfare memungkinkan China untuk melakukan tekanan sistematis atau diplomasi konfrontasi kepada negara-negara tetangga melalui cara-cara yang sulit, dan dapat dikategorikan sebagai perang tradisional (B. Kardon, 2024). Misalnya, mereka menggunakan kapal coast guard, milisi maritim, dan klaim wilayah yang terbilang 'ambigu' untuk memperluas pengaruhnya tanpa menggunakan kekuatan militer penuh. Strategi ini mencakup penggunaan 'cerdas' dari kekuatan ekonomi, teknologi, propaganda, dan tekanan diplomatik yang mereka miliki yang bertujuan mengikis kedaulatan dan kepentingan negara lain secara bertahap (Global Taiwan Institute & Lee, 2024).
Dengan adanya pendekatan ini memungkinkan China untuk mengaburkan batas antara perang dan damai, serta pula menciptakan situasi di mana lawan sulit untuk memberikan respons yang proporsional. Dengan memanfaatkan ketidakpastian hukum internasional dan memanfaatkan kerentanan geopolitik, China secara efektif mendorong agenda ekspansinya sambil meminimalkan risiko konflik berskala penuh (Escriche, 2022).
Menurut (Singh, 2024) Strategi ini mencakup:
- Reklamasi Lahan Artifisial menjadi instrumen utama mereka. China secara sistematis mengubah terumbu karang menjadi pulau buatan di Kepulauan Spratly. Terumbu Mischief, Fiery Cross, dan Subi menjadi contoh konkret transformasi geografis yang dilakukan China.
- Militarisasi terselubung dilakukan melalui pembangunan infrastruktur militer canggih. Landasan pacu pesawat, fasilitas radar, dan sistem pertahanan modern dibangun untuk memperluas proyeksi kekuatan militer mereka.
Seperti yang sudah kita ketahui, ketegangan di Laut China Selatan (LCS) merupakan isu geopolitik yang kompleks, melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang beragam. Disini, China berperan sebagai kekuatan dominan yang secara agresif membangun pulau-pulau buatan dan mendirikan fasilitas militer di kawasan sengketa. Ada pula strategi "menciptakan fakta di lapangan" dimana strategi ini bertujuan untuk memperkuat klaim teritorial Chinaa atas sebagian besar wilayah LCS, yang juga diklaim oleh beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Filipina (B. Kardon, 2024). Klaim ini mencakup area yang kaya akan sumber daya alam dan merupakan jalur pelayaran internasional yang penting. Meskipun Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016 memutuskan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum, China tetap menolak untuk mematuhi putusan tersebut.
Vietnam dan Filipina adalah dua negara yang paling vokal dalam menentang tindakan agresif China. Kedua negara ini telah menandatangani kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama antara pasukan penjaga pantai mereka, bertujuan untuk mencegah insiden di LCS. Kesepakatan ini diumumkan selama kunjungan kenegaraan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. ke Hanoi dan mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama maritim antara kedua negara (Escriche, 2022).
Vietnam dan Filipina juga telah mengalami insiden langsung dengan kapal-kapal China. Misalnya, pada bulan Oktober 2024, Filipina mengecam serangan oleh kapal penegak hukum China terhadap nelayan Vietnam, yang menunjukkan ketegangan yang terus meningkat di kawasan tersebut. Selain itu, insiden-insiden lain seperti bentrokan antara kapal penjaga pantai Filipina dan China di dekat Second Thomas Shoal semakin memperkeruh situasi(Bautista, 2024).
Amerika Serikat memainkan peran kunci dalam menjaga keseimbangan kekuatan di LCS melalui doktrin "pivot to Asia" dan operasi kebebasan navigasi (FONOPS). Operasi ini dirancang untuk membatasi ekspansi pengaruh China dengan mengirimkan kapal induk dan pesawat pengintai ke wilayah tersebut secara berkala. Misi ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan jalur perdagangan tetap terbuka tetapi juga untuk membendung pengaruh China di kawasan. Kehadiran militer AS sering kali dianggap oleh China sebagai intervensi yang mengancam kedaulatannya.
Dalam menghadapi tekanan dari kekuatan asing, China telah mengembangkan strategi Anti-Access/Area Denial (A2/AD) di Laut China Selatan (Global Taiwan Institute & Lee, 2024). Sistem ini dirancang untuk mencegah kekuatan asing, terutama Amerika Serikat, dari beroperasi di kawasan tersebut. Penempatan sistem rudal, radar jarak jauh, dan pangkalan militer di terumbu buatan menjadi bukti konkret dari strategi ini.
ASEAN juga ikut berupaya mengembangkan Kode Etik Konflik (Code of Conduct/CoC) sebagai langkah penyelesaian sengketa, namun kemajuan dalam hal ini sangat lambat karena perbedaan kepentingan antar negara anggota. Meskipun ada upaya diplomatik untuk menyelesaikan ketegangan secara damai, insiden-insiden seperti serangan terhadap nelayan dan bentrokan militer menunjukkan bahwa situasi di LCS tetap sangat rentan terhadap eskalasi konflik (Bautista, 2024).
Sukmawani Bela Pertiwi, 2019 berargumen mengenai upaya diplomatik melalui ASEAN dan kerjasama bilateral antara negara-negara yang terlibat menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas regional di tengah ketegangan yang terus meningkat. Beberapa langkah strategis diperlukan, diantaranya adalah:
- Penguatan mekanisme diplomatik
- Komitmen untuk mematuhi hukum internasional
- Pendekatan "win-win solution"
- Transparansi dalam negosiasi
Kesimpulan
Konflik Laut China Selatan merupakan miniatur dinamika kekuasaan global, di mana sejarah, geopolitik, ekonomi, dan ambisi nasional saling berinteraksi membentuk realitas hubungan internasional kontemporer, di mana konflik kedaulatan tidak lagi sekadar persoalan bilateral, melainkan arena perebutan pengaruh global. Setiap aktor memiliki motivasi strategis yang saling bertabrakan, mulai dari kepentingan ekonomi hingga ambisi hegemoni.
Masa depan stabilitas kawasan akan sangat bergantung pada kemampuan para aktor untuk melakukan dialog konstruktif, mematuhi hukum internasional, dan mengedepankan pendekatan diplomatik. Tanpa upaya sungguh-sungguh untuk meredakan ketegangan, Laut China Selatan berpotensi menjadi kawasan dengan risiko konflik terburuk di abad ke-21 (Escriche, 2022).
Referensi
Kumari, N. (2024). THE GEOPOLITICAL DYNAMICS OF THE SOUTH CHINA SEA. 9,
2456--4184. https://www.ijnrd.org/papers/IJNRD2411027.pdf
Sukmawani Bela Pertiwi, Luh, & Rangga Aditya. (2020). The Diplomacy of Quasi State in Territorial Disputes: Taiwan in the South China Sea. Jurnal Hubungan Internasional, 8(2), 153--167.
https://journal.umy.ac.id/index.php/jhi/article/view/7148/pdf_12
Lieberthal, K. G. (2011, December 21). The American Pivot to Asia. Brookings. https://www.brookings.edu/articles/the-american-pivot-to-asia/
B. Kardon, I. (2024). Combating the Gray Zone: Examining Chinese Threats to the Maritime Domain. Carnegie Endowment for International Peace. https://carnegieendowment.org/posts/2024/06/combating-the-gray-zone-examining- chinese-threats-to-the-maritime-domain?lang=en
Bautista, D. L. (2024). Rising Tensions in the South China Sea: The Strategic Calculations at Play - Australian Institute of International Affairs. Australian Institute of International Affairs. https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/rising-tensions-in- the-south-china-sea-the-strategic-calculations-at-play/
Global Taiwan Institute, & Lee, S.-F. (2024, March 20). Decoding Beijing's Gray Zone Tactics: China Coast Guard Activities and the Redefinition of Conflict in the Taiwan Strait | Global Taiwan Institute. Global Taiwan Institute. https://globaltaiwan.org/2024/03/decoding-beijings-gray-zone-tactics-china-coast- guard-activities-and-the-redefinition-of-conflict-in-the-taiwan-strait/
Singh, R. (2024, March 3). What is grey zone warfare, mentioned by India's Chief of Defence Staff recently? The Indian Express. https://indianexpress.com/article/explained/everyday-explainers/grey-zone-warfare- meaning-examples-china-taiwan-9193251/
Escriche, I. A. (2022). Winning without fighting: China''s grey zone strategies in East Asia. CIDOB. https://www.cidob.org/en/publications/winning-without-fighting-chinas-grey- zone-strategies-east-asia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H