Lihat ke Halaman Asli

Ketika harus Menafsirkan Kembali arti Cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ayah_galau

Hidup sering kali membawa dan menghadapkan kita pada pilihan-pilihan. Terkadang pilihan itu begitu ‘trivial’ , mudah untuk membedakan antara yang paling balik,  lebih baik, kurang baik, dan yang tidak baik. Tetapi, sering kali kita terjepit dalam pilihan yang sulit dan kompleks. Ketika banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sebuah pilihan, mengambil keputusan menjadi pekerjaan yang sangat tidak mudah. Yang pada akhirnya, kita tiba pada satu pilihan dimana sebuah kepentingan tidak bisa dibuat lebih baik lagi tanpa mengorbankan kepentingan lain menjadi lebih buruk. Itulah pilihan yang oleh orang ekonomi sebut sebagai sebuah pilihan “Pareto Optimal”. Sebuah pilihan yang tidak sempurna. Yah, tetapi apa sih yang sempurna dalam hidup ini?  Katanya, hanya orang-orang pengecut yang menuntut kesempurnaan dalam hidup di dunia ini. Buat saya, salah satu pilihan sulit yang sedang saya ambil adalah pilihan untuk meninggalkan keluarga kecil tercinta saya untuk sebuah pengembaraan intelektual di negeri yang sangat jauh di belahan benua yang berbeda. Memilih meninggalkan sebuah kenyamanan dalam kehangatan keluarga kecilku yang penuh kasih sayang dan cinta. Istri yang cantik nan salehah, yang senyum dan tatap matanya mampu menentramkan jiwa yang gundah gulana, yang kehadiranya mampu menjadi oase di tengah padang pasir yang tandus. Dan juga anak lelaki pertamaku (1.5 tahun) yang ganteng, lucu, dan sangat cerdas. Yang mampu meruntuhkan setiap rasa lelah dan letih, dan merubahnya menjadi butiran-butiran semangat hidup. Yang mampu merubah setiap butir duka menjadi bongkahan kebahagiaan. Semuanya menjadikan keluarga kecilku, walaupun mungkin tak sebegitu sempurna, seperti taman syurga di dunia. Yang selalu membuat saya merasa nyaman di dalamnya dan ingin segera kembali di penghujung hari nanti. Dan semuanya harus saya tukar dengan pilihan jalanan panjang  yang sunyi, sepi dan sendiri lagi terjal dan mendaki. Di negeri antah berantah, di antara orang-orang baru dengan   makanan, musim, bahasa, budaya, dan agama yang berbeda. Dan hari-hari itu harus ku lalui sendiri, dengan hanya seribu satu “teka-teki” yang selalu menemani bahkan menghantui dari pagi hingga di penghujung hari. Kehangatan pelukan keluarga saya, terpaksa harus saya tukar dengan dinginya udara dingin dan salju di musim Winter yang begitu menyiksa. Kemesraan cinta keluarga saya, terpaksa harus saya tukar dengan beratnya menjaga hati dan pandangan dari pemandangan manusia-manusia pengumbar aurat di musim Summer yang begitu sangat menggoda dan memesona. Kebersamaan dalam keluarga saya, harus saya tukar dengan rasa kerinduan yang begitu dalam dan menyiksa. Argh, saya pernah berfikir bahwa ini akan sangat sulit sekali saya lalui. Tetapi, pada akhirnya semua terasa seperti hari-hari biasa jika kita ikhlas menjalaninya. Dan tidak terasa, saya sudah hampir satu tahun menjalaninya. Sudah sepertiga perjalanan, dari perjalanan panjang yang mungkin akan melelahkan ini. Dari perjalanan sunyi ini, banyak hal dari pelajaran hidup yang akhirnya bisa saya pahami. Diantaranya adalah tentang tafsir ulang kata Cinta. Saya pernah berfikir bahwa cinta itu adalah kebersamaan, dan  saling memiliki seutuhnya. Tetapi, akhirnya saya memahami bahwa cinta itu tidak harus bersama, tetapi cinta itu adalah saling menjaga, saling setia, saling percaya, komitmen, dan mengikhlaskan yang kita cintai memilih pilihan sukses nya sendiri. Memang tidak mudah menempuh jalanan sunyi ini sendiri, tetapi selalu ada alasan yang menguatkan saya untuk meneruskan perjalanan sunyi ini. Diantaranya yang menguatkan hati saya adalah bahwa Ijtihad intelektual ini memang menuntut pengorbanan waktu. Saya tidak yakin, saya akan mampu fokus belajar jika saya berada di tengah-tengah keluarga saya. Banyak orang-orang besar, seperti bung karno, mahatma gandhi, Bang Pramoedya, Imam Alghazali, dan ulama-ulama besar jaman dahulu mampu menghasilkan ide-ide besar, karya-karya besar ketika mereka berada dalam kesunyian, kita mereka ber ‘uzlah’, menyendiri dalam kesunyian, bahkan dari balik sepinya jeruji penjara. Jalan sunyi di negeri antah berantah ini juga kesempatan untuk mendapatkan saudara baru. Kata orang Jawa, ” ora menang bondo, tapi menang bolo”. Perasaan senasib, jauh dari keluarga, membuat kita lebih mudah merasa dekat dengan teman dan sahabat-sahabat kita. Khususnya teman-teman, dari satu negara dan seiman, sesama muslim. Yang rasanya tidak mungkin, kita bisa meluangkan waktu sekedar untuk mengobrol ngalor ngidul dengan mereka, jika kita sudah terjebak dalam nyaman nya kehangatan keluarga di rumah. Bersyukur, saya merasa seperti mendapatkan saudara dan keluarga baru disini. Jalan sepi ini juga mendorong saya menemukan cinta sejati saya, cinta kepada Tuhan, Allah Swt. Sering kali kita terjebak dalam indahnya dekapan cinta kita pada istri, pada anak, pada pacar dan cinta pada makhluk lainya. Sehingga kita tidak sadar telah melupakan sang Khalik, yang seharusnya lebih kita cintai di atas segala-segalanya. Kegundahan dan kegalauan hati, serta rindu dendam pada pada makhluk,  ternyata hanya mampu terhapus dengan hati yang selalu menyebut-nyebut asma Allah swt. Dzikir terasa lebih indah, bacaan alquran, sholat dan do’a terasa sangat  nikmat , justru ketika kita jauh dari orang-orang yang kita cintai di dunia ini. Terima kasih Tuhan, telah membimbing saya menemukan cinta Mu melalui kesunyian dan kesepian ini. Sehingga saya paham, memang hanya Engkaulah satu-satunya yang layak untuk cinta sejati ini. Saya sadar, bahwa anak, istri, keluarga, sahabat, kerabat, kekasih dan semuanya selain Engkau cepat atau lambat mereka pasti akan meninggalkan saya. Sedangkan, Engkau akan selalu ada dan dekat dengan saya. Tetapi semuanya itu tidak pernah selalu mudah. Menjalin hubungan cinta jarak jauh sering kali tidak mudah. Karena cinta, ada cemburu dan curiga di dalamnya. Karena Cinta, ada rindu dendam di dalamnya. Karena cinta, ada tuntutan perhatian di dalamnya. Sementara kita berada di orbit yang berbeda. Pun, sering kali, jauh dari orang-orang yang kita cintai di dunia ini, membawa kita dalam kesedihan, kegundahan, dan kegalauan hati yang  berderit-berderit. Dan sering kali bisikan hawa nafsu sebagai manusia dewasa sering kali datang menggoda. Untuk cinta yang selalu menuntut perhatian, saling percaya dan komunikasi mungkin adalah kuncinya. Yah, cinta itu terkadang bukan berarti harus selalu bersama, tetapi berarti saling percaya. Beruntung, teknologi informasi membuat komunikasi menjadi mudah dan murah. Whats Apps, Skype, Chat On adalah dua aplikasi yang membuat komunikasi kami setiap hari tak terputus. Kemesraan pun masih tetap masih terjalin dengan gambar,  emoticon, foto, dan video. Suatu saat ini, jika kami bersama kembali, pasti akan menjadi rekaman yang indah. Untuk kesepian dan kegalauan hati yang berdirit-derit, percayalah rasa ini akan membuat kita semakin memahami arti sebuah kebersamaan. Agar lupa dengan kegalauan hati, saya memiliki beberapa tips seperti berikut ini:

  1. Salurkan energi yang akan terbuang percuma untuk meratapi kesendirian, untuk kesibukan yang berarti. PhD membutuhkan tingkat konsentrasi dan fokus yang tinggi. Buanglah waktu merenung sendiri untuk belajar dan belajar, berfikir dan berfikir, jelajahilah rimba intelektual anda sejauh-jauhnya. Sejak awal, saya selalu membiasakan berangkat pagi-pagi ke kampus, dan pulang larut malam. Walaupun di kampus hanya untuk buka Facebook. Rumah hanyalah tempat untuk tidur, masak, dan mandi.
  2. Jangan lupakan kehidupan sosial anda. Saya selalu meluangkan satu hari dalam seminggu untuk bersosialisasi. Sekedar belanja bersama dengan teman untuk kebutuhan mingguan, masak bersama, hunting foto bersama atau sekedar untuk ngobrol ngalur ngidul ndak jelas dengan seorang  teman dekat. Bahkan saya sering menginap di rumah teman for no reason.
  3. Jalan-Jalan. Belajar itu tidak harus dibatasi di ruang formal bernama kampus. Sekolah kehidupan, sering kali menjadi tempat yang terbaik untuk belajar. Sekali dalam sebulan saya selalu menyempatkan untuk jalan-jalan keliling di kota lain di UK. Banyak sekali ilmu, inspirasi, dan pengalaman tak ternilai harganya dari jalan-jalan ini. Selain sebagai obat mujarab untuk untuk meruntuhkan kejenuhan dan kejumudan.
  4. Dzikir. Beruntung saya tumbuh dan mengecap pendidikan dalam keluarga dan pesanten NU yang Kental. Keberagamaan NU yang kaya dan lekat dengan sufisme, membuat saya mengenal banyak sekali amalan-amalan dzikir penenang jiwa. Diantaranya dzikir jahr thariqah qadiriyah, dan dzikir sirri thariqah naqsabandiyah. Semuanya membuat hati menjadi tenang dan sejuk, yang mampu menukar kegelisahan jiwa dengan ketenagan jiwa.
  5. Sholat jamaah. Percayalah, berjabat tangan dan saling mendoakan dengan saudara-saudara  seiman akan semakin menguatkan hati-hati kita.

Untuk bisikan hawa nafsu yang sering datang menggoda, lawanlah dengan perbanyak Istighfar, menjaga mata, hati, dan pikiran, sering berpuasa sunah, dan bergaul dengan orang-orang yang baik. Yang akan selalu mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar. Yah, inilah hidup ini, yang tidak selalu terasa indah-indah amat, tetapi juga tidak selalu sedih-sedih amat. Ada saat menitikkan air mata, ada saat kita tertawa. Semuanya, membuat goresan-goresan dalam lukisan hidup kita. Untuk anda, yang merasakan hal yang sama dengan saya. Tetaplah semangat ! Keep Calm and Carry On!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline