Lihat ke Halaman Asli

Aceh, Tsunami, dan Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aceh, Tsunami, dan Jokowi

Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.

Aceh memiliki peranan yang sangat strategis sebagai suatu entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari daerah inilah denyut dukungan kemerdekaan Indonesia pertama kali muncul, bahkan pada masanya Aceh juga dikenal sebagai daerah “modal”. Bagaimanapun Aceh dan Republik Indonesia tidak bisa dipisahkan, keduanya merupakan suatu kesatuan utuh sekaligus sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aceh sebagai entitas NKRI

Aceh dewasa ini berposisi sebagai daerah otonom di ujung barat Indonesia, tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari perjalanan ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai dinamika telah memberikan warna bagi daerah Aceh, baik posisi Aceh sebagai “modal” maupun Aceh yang beberapa dekade terakhir dikenal sebagai daerah “konflik”. Output dari berbagai dinamika tersebut akhirnya tetap mempertegas bahwa Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dapat ditelusuri dari perkembangan politik hukum yang terjadi dalam dekade belakangan ini, yang mana pada tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, saling menyepakati lahirnya MoU Helsinki. Sebagaimana yang ditegaskan pada pembukaan MoU Helsinki, yang berbunyi “..para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”.

Tidak hanya sampai disitu, Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga dapat ditelusuri dari amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat 2 yaitu “Aceh adalah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Berdasarkan amanat dari MoU Helsinki dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka seyogyanya seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh, dalam rangka menjalankan roda pemerintahan sekaligus melaksanakan tertib kenegaraan dan kemasyarakatan, hendaknya memiliki paradigma yang sama, yakni paradigma Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tsunami, 26 Desember 2004

Minggu, 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.00 wib, di Aceh terjadi Gempa Bumi yang kemudian disusul gelombang Tsunami. Rangkaian peristiwa tersebut telah memakan banyak korban jiwa, serta menghancurkan berbagai infrastruktur, disertai sistem Pemerintahan tidak dapat dijalankan secara normal. Situasi Aceh yang porak poranda mendorong Pemerintah Republik Indonesia maupun bagi GAM (ketika itu belum lahir MoU Helsinki) saling tergugah untuk menanggalkan ideologi masing-masing dan mencoba mencari terobosan penyelesaian agar penderitaan rakyat Aceh dapat segera diakhiri, sehingga para korban gempa dan Tsunami dapat segera ditolong.

Tidak dapat dipungkiri, Tsunami telah menjadi salah satu landasan bagi terciptanya perdamaian di Aceh. Tsunami turut menstimulan lahirnya MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM), walaupun lahirnya MoU Helsinki memiliki berbagai landasan, baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis, tetapi dengan terjadinya Tsunami MoU Helsinki telah memiliki landasan lainnya, yaitu landasan alamiah.

Faktor Tsunami ini menjadi salah satu dasar yang mempercepat berlangsungnya perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM, karena apabila tidak dilakukan perjanjian dengan pihak GAM, tentu akan berdampak bagi upaya rekonstruksi Aceh paska Tsunami. Sebagaimana yang diutarakan Staf Ahli Wakil Presiden (Prof. Dr. Djohermansyah Djohan) bahwa: “… pemicu dari perjanjian Helsinki adalah terjadinya Tsunami di Aceh. Tsunami telah mendorong kedua belah pihak, pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla serta GAM menyadari bahwa untuk membangun Aceh pasca Tsunami perlu perjanjian sebagai syarat bagi pembangunan Aceh”. (Ikrar Nusa Bakti, 2008:115)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline