Perbedaan itu adalah rahmat.Benarkah?Itu akan benar jika perbedaan-perbedaan itu didasarkan pada alasan-alasan ilmiah.Waqila, ikhtilaful ulama'e rahmatun, perbedaan para ulama adalah rahmat.Karenaperbedaan para ahli ilmu yang tertuang dalam tulisan, yang memenuhi perpustakaan sebagai referensi.Yang dinikmati oleh pengais ilmu,sehingga memahami benar dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi, karena disebabakan oleh peristiwa, keadaan dan waktu.
Tetapi bagaimana jika perbedaan itu dikonsumsi oleh orang-orang awam, yang bagian terbesar dari masyarakat? Bukan rahmat, tetapi sebaliknya. Menjadi musibah.Perbedaan dikonsumsi mereka menjadi suatu yang dipertentangkan. Apalagi yang menyangkut yang sensitif, suku dan agama.
Perbedaan pandang, perbedaan persepsi, perbedaan dukungan ini terasa tajam manakala menjelanga pesta demokrasi seperti saat ini. Sebagai contoh, menjelang pilpres 2014. Perdebatan capres bukan melihat materi yang diperdebatkan tetapi lebih melihat pada personal dengan suka atau tidak suka. Masing pendukung berusaha memberikan ininformasi "hitam" dengan harapan saling menjatuhkan.
Mereka memahami perbedaan bukan alasan-alasan ilmu, tetapi alasan di golongan mana ia berada.Jika pinjam stateman sahabat saya Arie Djanwari yang katanya : “Alasan Tolol : "Saya memilih bakso karena Musuh saya penggemar nasi goreng...!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H