Meski sudah menobatkan diri sebagai bangsa penganut sistem demokrasi, namun Indonesia masih saja tak mampu menyelesaikan secara tuntas permasalahan kebebasan dan kebhinekaan. Ibarat kanker, kebebasan dan kebhinekaan telah menjadi penyakit yang akarnya menyebar ke sekujur tubuh. Simak saja permasalahan aliran sesat yang sedang booming akhir-akhir ini. Bagi orang yang paham betul demokrasi, aliran sesat bukanlah ancaman, sebab aliran itu bagian dari kebhinekaan dan kebebasan dalam beraktualisasi yang harus dihormati di negeri yang menganut demokrasi seperti Indonesia.
Wabah aliran sesat telah benar-benar menghantui rakyat di negeri demokrasi ini. Ketakutan rakyat terhadap kemampuaninfluence aliran sesat ini sudah berkembang bukan hanya sebatas isu yang sering kali hanya berhenti pada tahap diskusi, tapi sudah pada tahap tindakan aksi massa yang berbuntut anarkisme di lapangan yang melibatkan kekerasan dan senjata tajam. Berawal di Jakarta, menyusul kemudian Banten, Jawa Tengah dan kini sudah meluap ke Jawa Timur. Bahkan hari Minggu lalu, sudah benar-benar terjadi di kampungku.
Kecurigaan berbagai media massa bahwa aksi itu dilakukan secara terorganisir dan didalangi aktor intelektual tampaknya benar adanya. Aku telah membuktikannya sendiri di kampungku. Meskipun aku tidak menemukan bukti di daerah lain, tapi paling tidak, bukti itu aku dapatkan untuk kasus aliran sesat dikampungku secara terang-terangan dan kasat mata. Rasanya, polisi tidak perlu bersusah payah untuk menemukan aktor intelektual dan bukti penggalangan massa di kampungku.
Hari itu, pagi masih buta. Aku baru saja bangun dari tidurku, sementara di luar tampak beberapa orang sudah saling berkoordinasi dan tampak beberapa kali menunjuk ke salah satu rumah di gang-ku. Meski pembicaraan mereka tidak seberapa jelas, tapi aku yakin mereka sedang dalam pembicaraan serius terkait aliran sesat yang mulai disebarkan dari salah satu rumah warga kami. Tak seberapa lama, massa menjadi semakin banyak berkumpul di depan rumah ketua RT, parahnya mereka sudah membekali diri dengan berbagai senjata tajam seperti celurit, cangkul, golok, dan linggis. Wajar saja mereka sedemian cepat berkumpul, sebab, sehari sebelumnya ketua RT memang menyebarkan surat pemberitahuan ke masing-masing rumah warga yang dia tanda tangani sendiri (lengkap dengan stempel RT) terkait aksi massa itu.
Sebenarnya aku tidak berniat untuk ikut campur, karena aku termasuk warga baru di kampung ini. Namun kebutuhanku untuk diakui sebagai warga membuatku terpaksa ikut dalam aksi massa yang diaktori oleh ketua RT itu. Dengan langkah berat aku terpaksa keluar rumah dengan ikut-ikutan pula membawa sabit dan berbaur kedalam kerumunan massa.
Matahari tampak semakin tinggi, cahayanya benar-benar ikut memanaskan suasana pagi itu. Hanya butuh satu teriakan saja untuk menggerakkan massa yang sudah terlanjur berkerumun sebanyak itu. Beberapa pengurus RT tampak sedang serius berdiskusi, benar saja, tak lama setelah itu, ketua RT berteriak ke warga dalam bahasa Jawa, "Monggo sedoyo, dipun mulai kemawon" (Mari semua, kita mulai saja). Usai mendengar perintah itu, warga yang menghunus senjata tajam serentak bergerak ke rumah yang tampak kosong itu. Ketua RT tampil di depan, sesampainya di depan rumah tersangka penyebar aliran sesat itu, Pak RT setengah berteriak memanggil pemilik rumah itu, sementara warga dibelakangnya tampak berharap agar pemilik rumah itu segera keluar. Namun sayang, setelah beberapa kali pagar digedor dan dipanggil-panggil, sang pemilik rumah tak kunjung keluar.Entah dia memang sedang tidak ada di dalam, atau sengaja sembunyi di dalam karena takut dengan kerumunan massa yang menghunus senjata di depan rumahnya.
Rumah itu memang tampak tak terawat, cat bagian depan banyak yang terkelupas, beberapa bagian atap jebol dan terlihat jelas bekas-bekas bocoran air hujan menandai dindingnya, sementara itu, rumput di depan rumah sudah mulai meninggi dan mulai menjalar ke badan jalan kampung. Menurut beberapa warga, pemiliknya memang hanya sesekali datang, itupun tengah malam dan membawa beberapa orang.
Setelah tidak ada respon, beberapa warga mulai gusar, "sudah langsung sikat saja Pak RT" seru salah satu warga, dan yang lain pun meng-iya-kan. Maka, tragedi itu pun terjadi. Warga semakin tidak terkendali, beberapa orang langsung menyabetkan celurit ke arah rerumputan, yang lain segera mengikuti termasuk aku. Sementara itu, beberapa orang tampak turun ke got depan rumah itu sambil membawa cangkul, "Pantas saja kalau hujan banjir, lha wong banyak kotoran yang menyumbat di bawah sini".
Akhirnya kerja bakti pagi itupun secara khusus direncanakan oleh Pak RT untuk membersihkan saluran got tetanggaku itu, yang menurut orang-orang got itu-lah sebagai biang keladi terjadinya banjir di gang kampungku. Air hujan yang seharusnya menjadikan sungai sebagai tujuan, ternyata harus tersesat ke sisi-sisi jalan kampung. Aliran sesat itu-lah yang membuat banjir di kampungku, hanya gara-gara jalur aliran air itu tersumbat di got tetanggaku itu. Aku yakin, aliran sesat seperti itu pula yang mengakibatkan Jakarta, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur kebanjiran.
Namun, ini adalah pencederaan terhadap demokrasi, karena tak ada lagi penghormatan terhadap kebebasan orang mengatur saluran gotnya sendiri (meskipun mengakibatkan banjir). Tak pula ada yang menilai, bahwa perilaku tetanggaku ini merupakan bagian dari pluralisme karakter yang harus dinilai sebagai bagian dari Kebhinekaan negeri yang menganut demokrasi. Mengapa semua harus berakhir ditangan Anarki?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H