Sepinya pasar luar jaringan (luring) yang menjual produk-produk UMKM di tengah kian masifnya perdagangan produk-produk UMKM melalui aplikasi dalam jaringan (daring), sejenak membuat saya teringat pada masa sekitar 5 hingga 7 tahun lalu.
Di mana masa-masa itu bisa dikatakan sebagai masa puncak keberadaan angkutan -- ojek dan taksi --daring di ibu kota Jakarta hingga saat ini, sejak ditandai oleh hadirnya aplikasi GoJek pada tahun 2010, kemudian diikuti oleh Uber dan Grab.
Seiring berjalannya waktu, transportasi daring kian diminati oleh pengguna transportasi publik, termasuk di Jakarta.
Namun kian masifnya peralihan pengguna angkutan konvensional menjadi pengguna angkutan daring, berdampak pula pada tindakan unjuk rasa demi unjuk rasa yang dilakukan oleh pelaku transportasi non-daring, seperti ojek, angkutan kota, hingga taksi konvensional.
Tak hanya unjuk rasa, kabar-kabar soal konflik horizontal berupa gesekan antara angkutan konvensional dan daring -- entah kabar yang benar adanya maupun kabar angin- kian akrab terdengar di telinga saya pada masa-masa itu.
Spanduk-spanduk yang berbunyi pembatasan operasional angkutan daring, saat itu kian akrab saya temui di sejumlah lokasi. Para pelaku angkutan daring kerap menyebut wilayah yang "dikuasai" oleh angkutan konvensional -- khususnya ojek pangkalan - sebagai kawasan 'merah' alias "terlarang" untuk operasional angkutan daring.
Pada tahun 2015, Kementerian Perhubungan yang saat itu dipimpin Ignasius Jonan, sempat mengeluarkan larangan beroperasi bagi ojek dan taksi daring. Dasar pelarangan tersebut adalah karena ojek dan taksi daring dinyatakan melanggar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Namun aturan tersebut hanya berusia seumur jagung. Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2015 melalui akun Twitter -- kini X -- mencuit:
Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata -- Jkw
Usai 'sabda' Jokowi tersebut, hingga saat ini aturan pelarangan ojek dan taksi daring nyaris tak pernah lagi muncul.
Dampaknya, angkutan daring kian berkembang. Dan tetap diiringi dengan kabar-kabar gesekan antar sesama pelaku transportasi publik di jalanan, meskipun kini kabar soal gesekan itu kian tak terdengar kerap terjadi.