Di Indonesia, literasi mengenai dunia lawak bisa dikatakan minim. Meski demikian, pertunjukan komedi di Tanah Air, sejatinya sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan melalui pentas teater tradisional, seperti ludruk, lenong, maupun pertunjukan wayang.
Bahkan pada masa penjajahan, pentas seni teater yang bernuansa lawak juga dijadikan alat perjuangan. Seperti yang dilakukan oleh Gondo Durasim alias Cak Durasim dengan parikan (pantun) yang terkenal:
Bekupon omahe doro
Melu Nippon tambah soro
(Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara).
Pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1950-an dapat dikatakan sebagai titik awal bermunculannya kelompk pelakon seni teater komedi, atau lazim disebut kelompok/grup lawak.
Seperti kemunculan grup Srimulat pada 1950 di Solo, yang awalnya merupakan kelompok Gema Malam Srimulat yang mementaskan orkes musik dengan selingan pertunjukan komedi.
Grup bentukan pasangan suami istri Teguh Slamet Rahardjo dan Raden Ayu Srimulat ini pun eksis melintasi zaman, dan bisa dikatakan tetap eksis hingga kini meskipun sudah relatif jarang tampil di muka publik.
Grup lawak lainnya yang dibentuk pada era 1950-an adalah Trio Los Gilos yang dibentuk pada 1958. Grup ini beranggotakan Bing Slamet, Mang Cepot, dan Mang Udel.
Berbeda dengan Srimulat yang konsep penampilannya semi teater lawak tradisional seperti ludruk, lenong, dan lain-lain, Trio Los Gilos membawakan pementasan yang lebih sederhana berupa sketsa komedi yang dimainkan hanya oleh ketiga anggotanya.
Jadi bisa dikatakan, Trio Los Gilos adalah pelopor grup lawak modern di Indonesia, dengan konsep pementasan yang kemudian diikuti oleh banyak grup lawak yang bermunculan sesudahnya.
Kehadiran TVRI pada 1962 juga membawa berkah pada dunia komedi Indonesia. Setelah Trio Los Gilos, sejumlah grup lawak dengan personil 3 hingga 4 orang kian muncul dan berkembang di era layar kaca.