Lihat ke Halaman Asli

Agus Zain Abdullah ElGhony

Pemerhati masalah budaya dan agama

Menjaga MUI Agar Tetap di Atas Khitahnya

Diperbarui: 25 Juni 2020   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MUI adalah bagian penting dari umat dan negara,  salah satu organisasi yang mempunyai posisi dan peran stratergis di Indonesia. Kedudukannya sebagai jembatan umat Islam, baik antar umat islam atau antar umat Islam dengan agama, serta umat Islam dengan pemerintah. Hasil keputusan MUI walaupun secara hukum tidak mengikat,  tetapi secara moral keagamaan ia mengikat. Apalagi MUI adalah cerminan keragamaan umat Islam di Indonesia, wajarlah jika MUI menjadi harapan beragamnya pola beragama, serta kepentingan sosial, budaya dan politik umat Islam.

Anggota MUI adalah para ulama. Secara umum ulama adalam orang "yang berilmu". Dalam penggunaannya mengalami penyempitan yakni ulama dikhususkan kepada ilmu-imu agama. Namun disebut ulama bukan hanya ilmu, saja tetapi moralitas yang baik. Kemampuan menahan diri menjadi ciri seseorang bisa disebut ulama.

Dalam al-Qur'an dijelaskan "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun" ( Al-Fathir 38). Makna "takut" disini mereka mengerjakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu hanya mengharapkan ridho Allah saja. Orang yang telah selesai dengan kecintaan pada dunia, sehingga ia fokus hidupnya kepada pengabdian pada Allah.
Maka ulama adalah pewaris para nabi. Dari ilmu, amal dan ketulusan dalam berjuang. 

Ulama adalah gelar kedudukan keagaman yang tinggi. Jika gelar kiai, ustadz, buya atau kata sejenis yang sepadan dengan makna itu hanya bersifat lokal budaya. Kiai misalnya, hanya gelar budaya untuk seseorang, seseorang yang dihormati oleh masarakat Jawa karena keagamaannya. Dalam tradisi Jawa pusaka keris atau tombak disebut "kiai". Begitu gelar ustad atau buya, yang muncul dari segmen budaya. Gelar ulama disebutkan dalam hadits dan al-Qur'an sehingga mempunyai dimensi yang lebih tinggi, bahkan nabi SAW menyebut mereka sebagai "PEWARIS PARA NABI".

Jika ada seseorang yang bergelar kiai atau ustadz bersikap agak menyimpang, publik pastilah kecewa tetapi akan  lebih mudah memahami, karena masih kiai, belum ulama. Banyak kiai dan ustadz yang secara sosial dan budaya belum disebut ulama. Para ulama biasanya kurang menyukai sebutan sebagai "ulama" karena beban beratnya gelar itu. Jika kiai atau ustadz, hanyalah produk sosial budaya yang dipengaruhi agama saja. Tetapi gelar ulama, gelar yang disebutkan dalam aL-Qur'an dan al-Hadits.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang berisikan para orang pilihan yang diyakini mempunyai kapasitas "ulama", tentu makna ini bersifat sosial budaya, bukan makna ulama seperti yang ada al-Qur'an dengan kecenderungan personal teologisnya.

Anggota MUI adalah perwakilan dari ormas-ormas yang ada di Indonesia, tentu yang dominan dari NU dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar di Indonesia. Betapa hebatnya, anggota MUI orang yang terpilih mewakili ormas keagamannya atau orang yang terpilih di ormasnya untuk menjadikan peneguh umat Islam. Yang uluran tanggannya diharapkan menyelamatkan umat di dunia dan di akherat.

Maka ulama yang terpilih sebagai wakil dari organisasinya adalah orang yang sudah selesai dengan ego personalnya termasuk ego golongan apalagi sekte keagamaannya. Karena di pundaknya umat dari berbagai ormas diperjuangkan kepentingannya. Bagaimana menjaga hubungan antar umat dan pemerintah berjalan hormanisnya, tentu juga lembaga-lembaga negara lain. Tetapi bukan berarti MUI tidak boleh menolak kebijakan pemerintah atau lembaga negara lain. Sebagai jembatan, MUI jika sesuatu yang berkaitan dengan pemerintah atau lembaga negara lain bersikap formal dan resmi, bukan dengan aksi-aksi  yang melibatkan banyak massa.

Anggota MUI adalah wakil umat yang sudah selesai dengan ambisi kelompok atau individual, hanya menyuarakan kepentingan umat dengan gerak dan bahasa yang paling santun untuk menghindari riak-riak yang ada di masarakat. Sikap MUI saat menolak sesuatu menghindari adanya riak konflik di masarakat. Jangan sampai MUI ditarik-tarik kepada kepentingan politik suatu kelompok demi ambisi politiknya. Jika anggota MUI  yang ingin "berjuang" di medan politik, seharusnya ia mengundurkan diri MUI  untuk menghindari keterjebakan diri, di mana sebagai penjaga umat dan kepentingan yang praktis dan bersifat kepentingan sesaat.

Tidak seharusnya anggota MUI terjebak dalam konflik interest politik, karena posisinya sebagai penjaga moral. Jangan sampai ada anggota MUI karena target-target politiknya menyampaikan sesuatu yang bisa dianggap "hoaks" ke lawan politiknya. Marwah MUI terlalu agung untuk dipertaruhkan. Anggota MUI dan masarakat Islam (dan saya insyaallah salah bagiannya walau mungkin bagian yang terkecil) mempunyai kewajiban untuk menjaga MUI berada di khittahnya penjaga moralitas umat, pelindung umat, pengawal umat, untuk kebaikan di umat di dunia dan di akherat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline