Lihat ke Halaman Asli

Agus Zain Abdullah ElGhony

Pemerhati masalah budaya dan agama

Tidak Ada Presiden Republik Indonesia yang Selamat dari Caci Maki

Diperbarui: 12 Juni 2020   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah Presiden Republik Indonesia, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah  caci maki, cemooh dan hinaan, walaupun kita dengan angkuh berkata bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah, santun dengan adat timurnya. Ironis rasanya melihat sebuah kenyataan bahwa sejarah presiden RI, tidak pernah lepas dari caci maki dan hinaan. Kekuasaan silih berganti dari satu presiden ke presiden yang lain. Apakah seperti ini tradisi di sebuah negeri yang di bangun di atas demokrasi?? Tradisi mencaci maki pemimpinnya sendiri.


Sukarno ?? Siapa yang tidak mengenalnya. Sosok karismatik yang menggetarkan. Pengagas Konfrensi Asia Afrika. Pemimpin karismatik yang menggerakkan bangsa Indonesia ke dalam kemerdekaannya. 

Pemimpin yang disubya-subya sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup. Di akhirnya kekuasaannya, seolah-olah langit Indonesia penuh dengan caci maki terhadap sosok yang pernah dipujanya. Ekonomi yang jatuh. Presiden yang asik dengan para selirnya. Kalimat di atas, hanya sekedar contoh caci maki yang menerpa sang proklamator.

Wisma Yaso, mungkin saksi bagi jatuhnya sang putra fajar. Bung Karno yang dijebak dalam sendiri dan sunyi. Wafat ditikam kesendirian. Dituding terlibat gerakan G 30 S PKI.  

Siapa pada waktu yang menjadi pembela?? Sukarno hidup terisolasi dengan stigma yang menempel di tubuhnya. Nama besarnya, dan tentu juga jasa besarnya, seolah-olah sirna berganti dengan cemooh. Konsep pemikirannya yang dulu dipuja, pada masa itu telah ditinggalkan, berganti caci maki.

Sosok Suharto muncul dengan konsep pembangunannya. Stablilitas negeri menjadi panglima. Apakah beliau sepi dari caci maki?? Begitu berkuasa selama 32 tahun. 

Akhirnya runtuh dengan deretan caci maki yang selalu menggema di penjuru negeri. Bapak pembangunan menjadi "bapak korupsi", "bapak KKN" dan "Dikator bergelimang darah". Sampai sekarang Suharto masih diidentikan dengan sosok koruptor dan ditaktator yang berlumur darah.

Lalu muncullah sebuah era yang didambakan oleh masarakat, era reformasi. Apakah di era segalanya menjadi lebih baik?? Dulu para pengusung orde baru semangat membangkitkan Indonesia lepas dari orde lama, akhirnya juga kecewa atas pencapaian orde baru, apalagi pada saat akhir kekuasaan Suharto. 

Di era refomasi BJ Habibi melanjutkan kekuasaan. Tidak panjang kekuasaannya, tetapi begitu banyak muncul caci maki. Apalagi saat Timor Timor harus lepasa dari pangkuan.

Kisah serupa dengan Gus Dur dan Megawati. Kekuasaan tidak lama. Tetapi tetap tidak lepas dari caci maki. Gus Dur dipenghujung kekuasaannya, digambarkan sebagai sosok buta yang gagal memimpin, mengeluarkan dekrit yang aneh. Teriakan mundur dan berbagai cacian terdengar. 

Akhirnya, disebuah sidang istimewa, Gus Dur lengser. Bergeser kekuasaan ke Megawati.  Begitupula pola cacimakinya bergeser ke Mega, berbagai kejadian pada masanya sering diiringi dengan caci maki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline