Keputusan Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mengeluarkan kebijakan bailout kepada Bank Century menuai kontrovesi yang tidak berujung. Persoalan Bank Century sebenarnya mencuat ke publik sejak di bentuknya Panitia Khusus (selanjutnya disebut Pansus) Angket Bank Century membuat kasus tersebut semakin kabur dan tidak jelas kemana arahnya (Okezone.com). Secara politik, kasus bail-out Bank Century telah dinyatakan DPR RI sebagai penyimpangan. Keputusan tersebut diambil pada 3 Maret 2010 dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dengan melalui sebuah proses voting terbuka. Sebanyak 315 anggota DPR menyetujui opsi C yang menyatakan proses pemberian FPJP dan Bailout pada Bank Century menyimpang, mengalahkan 212 anggota DPR pendukung opsi A yang menganggap tidak ada persoalan pada proses tersebut.
Hingga saat ini antara pihak pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya kebijakan bailout Bank Century masih menjadi perdebatan panjang. Bagi pihak yang pro keputusan untuk membailout Bank Century merupakan salah satu alternative dari beberapa kebijakan guna mencegah kerusakan perekonomian nasional yang lebih parah lagi akibat Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Bagi pihak yang kontra bailout Bank Century dianggap menyimpang.
Beberapa pihak mempertanyakan banyak hal. Dimulai dari tidak adanya criteria terukur tentang dampak sistemik, apa dasar penilaian Bank Century sebagai bak gagal berdampak sistemik sehingga perlu di selamatkan? Adakah motif dibalik penyelamatan bank Century ? Sampai dengan mempermasalahkan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak transparan, karena KSSK tidak berkonsultasi dulu dengan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pandangan negatif lainnya adalah KSSK dianggap bertanggung jawab atas penyaluran dana penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century.
Untuk itu mari kita telaah, apakah keputusan penyelamatan Bank Century merupakan kebijakan terbaik dari alternative-alternatif kebijakan yang ada mengingat pada saat itu (2008) dunia sedang mengalami depresi ekonomi yang luar biasa.
Krisis Finansial Global 2008 Menjalar Ke Seluruh Dunia
Selama bertahun-tahun orang Amerika hidup dengan kemudahan kredit, baik itu kredit kendaraan, perumahan dan konsumsi lainnya. Hal inilah yang pada puncaknya memicu terjadinya kegagalan pembayaran kredit perumahan atau yang dinamakan sub prime mortgage default. Kreditur di Amerika Serikat selama ini memberikan kredit dengan sangat mudah kepada masyarakat tanpa melihat kemampuan bayar dan collateral yang dimiliki.
Salah satu contoh adalah perusahaan bernama Lehman Brothers yang menjalankan praktek agen atau perantara dengan menyalurkan dana dari mereka yang mempunyai kelebihan uang kepada penduduk calon debitur sub prime mortgage di sector property. Raksasa keuangan AS ini akhirnya tumbang setelah mengalami kesulitan ketika para debitur kredit pemilikan rumah satu per satu tidak sanggup lagi membayar bunga dan angsuran pokok kredit pemilikan rumah mereka.
Meski sempat dilakukan penyelamatan oleh otoritas moneter berdasarkan opsi Chapter 11 Protection, namun lembaga keuangan non bank raksasa yang berdiri sejak 1847 mengumumkan kerugian secara bertahap sebelum akhirnya tidak berhasil tertolong dan dinyatakan bangkrut (Mirhad: 2014).
Kebangkrutan Lehman Brothers ini tidak berhenti sampai di situ namun menjadi efek domino kemudian berimbas ke pelemahan sektor riil ditandai kebangkrutan dan kekacauan berbagai perusahan besar di AS seperti General Motors, Ford, Chrysler yang terpaksa memutuskan kelangsungan kerja ribuan karyawannya. Tidak hanya mengakibatkan resesi di Amerika Serikat tetapi juga mengakibatkan resesi global. Resesi pada tahun 2008 dianggap oleh berbagai kalangan sebagai resesi yang lebih besar daripada depresi ekonomi1930-an.