A. Pengantar
Jika kita mendengar kata pesantren, pastilah pikiran kita akan membayangkan sebuah tempat pondokan terpelosok yang jauh dari keramaian dengan para santri berpakaian islami (umumnya bersarung dan berpeci serta berbaju koko warna putih). Disana kita akan menemui seorang guru atau kyai dengan ciri khas pakaian jubah warna putih dengan surban berupa lilitan kain warna putih di kepala, berjanggut putih dan tangannya tak lepas dari tasbih berupa butiran manik-manik kayu berbentuk bulat yang dirangkai menjadi semacam kalung.
Bahkan jika kita melihat beberapa film dunia persilatan, kyai tersebut dianggap sebagai orang yang sangat bijak dan memiliki ilmu kanuragan beserta para santri muda dengan pakaian pangsi dan lilitan sarung di lehernya. Mereka akan terjun ke dunia nyata untuk membasmi kejahatan atau ketidak adilan dari orang-orang durjana yang sering berbuat jahat dan meresahkan masyarakat.
Ada pula yang mengisahkan karena negeri kita yang dihinggapi dengan dunia klenik, mereka akan membebaskan masyarakat dari orang berilmu hitam yang menghamba kepada syetan durjana. Ada pertarungan kekuatan magis antara ilmu putih dan hitam, dan pastinya akan diakhiri kemenangan ilmu putih dan penganut dunia hitam takluk serta sadar dan kembali menuju jalan kebenaran untuk selalu berbuat baik.
Akan tetapi dalam era jaman terkini, baik Kyai atau santri maupun pesantren justru dianggap sebuah momok bagi masyarakat karena mereka selalu dianggap melakukan perbuatan untuk menentang kejahatan dengan caranya sendiri dengan melanggar hukum negara.
Pertentangan pro dan kontra bagi sebagian masyarakat dengan pola sikap atau tindakan mereka yang selalu diberitakan (kadang dibesar-besarkan oleh pihak yang berkepentingan) dengan kekerasan atau tindakan anarkis menimbulkan ketakutan sebagian masyarakat atau dikenal dengan Islam-phobia. Atas dasar itulah, penulis akan sedikit membahas mengenai dunia pesantren dan para pelaku disana dan bagaimana sikap mereka menghadapi perubahan jaman di era kemajuan teknologi dan informasi.
B. Latar Belakang Masalah
Menurut Abdul Mu'id yang berasal dari IAI Qomaruddin Bungah Gresik dalam artikelnya berjudul "Peranan Pondok Pesantren di Era Digital" menyebutkan bahwa Pesantren memang merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia, pesantren merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti atau akademisi yang berupaya mengurai anatomi pesantren dari berbagai dimensi atau aspek pembahasan. Bahkan, pesantren sebagai objek studi telah melahirkan doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan sebagainya karena andil penelitian tersebut.
Pendidikan pesantren semula merupakan suatu tempat pendidikan agama yang di mulai sejak munculnya masyarakat Islam di negeri ini. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, seperti bahasa arab, tafsir, hadits, tauhid dan lain-lain. Bentuk ini kemudian berkembang menjadi berdirinya tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri) yang disebut pesantren.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik. Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Karena keunikannya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan kondisi dan hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan karakteristik yang beragam, tidak pernah mati. Demikian pula semua komponen yang ada didalamnya seperti kyai atau ustad serta para santri senantiasa mengabdikan diri mereka demi kelangsungan pesantren. Hal ini, tentu saja tidak dapat diukur dengan standar sistem pendidikan modern dimana tenaga pengajarnya dibayar atau digaji karena jerih payahnya, dalam bayaran dalam bentuk material.