Lihat ke Halaman Asli

Redam Ego, Selesaikan Kisruh

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

17 April 2015, menjadi tanggal yang akan diingat masyarakat pecinta sepakbola di Indonesia. Pada tanggal itu, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dibekukan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga, tepat sehari sebelum pelaksanaan kongres luar biasa (KLB) PSSI yang berlangsung di Surabaya pada 18 April 2015. Kemenpora menyatakan bahwa Pembekuaan PSSI ini karena PSSI telah mengabaikan tiga kali teguran dari Kemenpora dan secara jelas telah terbukti tidak mematuhi kebijakan pemerintah. Nantinya, Kemenpora akan membentuk Tim Transisi yang akan mengambil alih tugas dan wewenang PSSI sampai nanti terbentuk kepengurusan PSSI yang kompeten dan sesuai dengan mekanisme organisasi dan statuta FIFA.

Pasca pembekuan tersebut, apapun aktifitas yang berada dibawah naungan PSSI dinyatakan ilegal, termasuk hasil KLB PSSI yang menyatakan La Nyalla Mattaliti menjadi Ketua Umum PSSI 2015-2019. Lantas, Karena PSSI merupakan induk sepakbola indonesia, bagaimana nasib persepakbolaan nasional? Bagaimana nasib kompetisi QNB ISL 2015? Bagaimana persiapan Timnas Indonesia yang akan mengikuti dua event besar (Sea Games 2015 dan Kualifikasi Piala Dunia 2018) di tahun ini? Lebih jauh lagi, kalau federasi sepakbola kita bermasalah lagi, bagaimana impian masyarakat tentang prestasi sepakbola negeri ini?

Sebelum berbicara lebih jauh, mari kita sejenak melihat awal mula ketegangan antara PSSI dengan Kemenpora. Berawal dari terjadinya sepakbola gajah di pertandingan 8 besar divisi utama antara PSS vs PSIS. Kejadian itu terjadi pada 26 Oktober 2014, tepat disaat Imam Nahrowi diumukan sebagai Menpora oleh presiden Jokowi. Adanya isu pengaturan skor dan mafia menjadikan Menpora mulai gelisah dengan PSSI dan oknum-oknum tersebut. lalu tibalah momentum pergantian musim kompetisi, adanya keluhan beberapa pemain yang belum menerima lunas gaji dari klub masing-masing, membuat Kemenpora semakin yakin harus “merevolusi” sepakbola di Indonesia. Lalu Kemenpora menggandeng BOPI untuk memverifikasi klub-klub calon peserta kompetisi Liga Indonesia.

Setelah terjadi tarik ulur dan negosiasi, akhirnya BOPI hanya merekomendasikan 16 klub dari jumlah total 18 klub calon peserta liga, Arema dan Persebaya tidak diberikan rekomendasi dengan alasan adanya dualisme di dua klub tersebut. Menanggapi rekomendasi tersebut, pihak PSSI dan PT Liga Indonesia (Operator Liga) menyatakan bahwa Liga akan tetap berlangsung dengan peserta 18 klub. Bahkan sehari sebelum Liga dimulai, PSSI mengubah nama liga dari Indonesia Super League (ISL) menjadi Qatar National Bank Indonesia Super League (QNB ISL) 2015. Lalu dari situlah polemik berkelanjutan antara PSSI vs Kemenpora yang berujung pada pembekuan PSSI oleh Kemenpora pada 17 April 2015.

PSSI yang dibekukan oleh Kemenpora, mencoba berbagai langkah agar Kemenpora mau mencabut pembekuannya, tapi Menpora Imam Nahrowi menyatakan bahwa keputusan tersebut (pembekuan PSSI) sudah mutlak. Selanjutnya, baik PSSI dan Kemenpora juga telah sama-sama mengirim surat kepada FIFA sebagai induk sepakbola internasional dengan menyatakan pendapat dan kondisi yang terjadi sekarang ini dari perspektif masing-masing. Akhirnya FIFA membalas surat dari “Indonesia” tersebut dengan menyatakan bahwa segala macam polemik yang terjadi sekarang ini, harus selesai pada tenggat waktu 29 Mei 2015 nanti. FIFA menyatakan pada tanggal tersebut, kondisi sepakbola Indonesia aruslah sudah stabil dan terbebas dari intervensi pemerintahan. Kalau tidak, Indonesia akan kena Sanksi dari FIFA.

Kemenpora sudah membentuk Tim Transisi yang beranggotakan 17 orang dari latar belakang berbeda. Tugas tim transisi ini antara lain adalah menjalankan fungsi-fungsi PSSI yang telah dibekukan, pengelolaan Tim nasional sehingga bisa mengikuti even-even internasional, menjalankan kompetisi di berbagai level, dan terakhir membentuk kepengurusan baru yang kompeten dan sesuai dengan statuta dari FIFA. Lalu pertanyaannya, apakah polemik di persepakbolaan nasional kita bisa benar-benar selesai dengan tuntas tanggal 29 Mei? Kita lihat saja nanti.

Insan Sepakbola nasional sudah lelah dengan kondisi ini. Harapan kita semua sama, apapun yang terjadi (mendapat sanksi atau lolos dari Sanksi FIFA) kita hanya ingin sepakbola di Indonesia lebih baik. Sedikit komparasi untuk kita semua, Brunei Darussalam dan Kamerun adalah dua negara yang bisa kita jadikan contoh. Dua negara ini sempat mengalami sanksi dari FIFA dikarenakan kondisi yang sama dengan negara kita saat ini (adanya intervensi dari pemerintah terhadap federasi) dengan alasan yang berbeda. Tapi setelah itu, kedua negara tersebut bisa membangun kembali sepakbola di negara masing-masing yang lebih baik.

Maka sudah selayaknya oknum-oknum yang melaksanakan pembangunan sepakbola nasional mau untuk membuang ego dan kepentingan pribadi ataupun golongan dan mendahulukan satu tujuan yang sama, yaitu kemajuan sepakbola nasional dengan cara yang baik, benar, dan sesuai dengan semangat fairplay. Salam satu jiwa Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline