[caption id="attachment_130666" align="aligncenter" width="1600" caption="Sore di Lembah UGM"] [/caption] Kemarin sore ketika melewati bunderan UGM tiba-tiba merasakan sesuatu hal yang sedikit janggal. Bagi mereka yang "berkenalan" dengan Jogja setelah tahun 2010 mungkin tak tahu, tetapi bagiku yang sudah bermesraan dengan kota ini sejak tahun 2007 lalu tentu merasakannya. Yak, ngabuburit di Bunderan UGM! Hm, melewati bunderan penuh kenangan ini aku merasa janggal dengan sepi dan lengangnya tempat itu, tidak ada penjual satu pun! Bahkan pedagang gerobak dorong (kaki lima) yang biasa menjajakan wedhang ronde ataupun kacang-kacangan, entah kemana mereka, tapi yang jelas sore itu sepi. Bunderan UGM di bulan puasa, tahun ini berasa tidak ada orang-orang yang nongkrong disana tuk menanti waktu berbuka. Tidak ada lagi keramaian penjual ta'jil yang sudah tentu akan diserbu pembeli. Nyanyian waria pengamen "wer...ewer...ewer" mungkin hanya menjadi kenangan bagi kami yang dulu sering mengadakan diskusi sembari menanti waktu berbuka disana. Ah, tiba-tiba teringat akan penjual rokok yang menjadi langganan Mas Unggul, entah kemana beliau mencari rezeki di bulan puasa saat ini di kala bunderan UGM begitu lengang. Ah, aku teringat, tahun lalu aku tak sempat melakukan aktivitas ngabuburit di bunderan UGM. Karena KKN, sehingga kegiatanku saat berbuka puasa lebih sering disana. Mungkin tahun 2009 menjadi tahun terakhir aku merasaikan riuh keramaian bunderan UGM di bulan puasa. Tahun 2009, ya, saat itu kami memutuskan keluar dari BEM-KM UGM bersama-sama, dan setelahnya kami membuat sebuah komunitas diskusi yang diberi nama KCGAMA (Komunitas Cinta Gadjah Mada). Ah, iya, dua tahun berlalu. Itu dulu, ketika UGM masih ramai, masih bisa dimasuki oleh berbagai macam masyarakat. Kala UGM belum mengenal KIK, yang menutup akses masyarakat ke kampus rakyat. Kini, seperti yang sudah aku duga sejak setahun lalu, KIK akan menjadi tembok tebal yang menjadi pembatas antara golongan intelektual dengan masyarakat. Terbukti sudah, tidak adanya interaksi bebas antara para intelektual muda dengan masyarakatnya. Tidak ada lagi silaturahmi antara mahasiswa dengan pedagang asongan seperti Mas Unggul dan seorang penjual rokok. Tidak ada lagi kehangatan diskusi sembari ditemani "wer...ewer...ewer", tempura panas, dan semangkuk es buah disaat senja menanti berbuka puasa. Kini bunderan itu sepi, dan keramaian itu hanya tinggal kenangan... Platinum Net, Yogyakarta 03 Agustus 2011, 08:01 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H