Lihat ke Halaman Asli

Ahmadiyah Harus Mencoba Untuk Inklusif

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1401956877499539548

[caption id="attachment_309821" align="aligncenter" width="864" caption="(dari kiri) Prof. Dr. Bambang Pranowo, Prof. Dr. Zulkifli, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, dan Prof. Dr. Azyumardi Azra"][/caption]

Isu mengenai Ahmadiyah kembali hadir ke dalam ranah publik. Persoalan kekerasan bermotif agama dan kepercayaan berulang kali terjadi di Indonesia. Tidak terkecuali dengan Ahmadiyah yang beberapa saat lalu pernah menjadi kontroversi publik akibat kepercayaannya dalam beragama Islam di bawah petunjuk Mirza Ghulam Ahmad. Catur Wahyudi, dosen Universitas Merdeka Malang kembali mengangkat topik Ahmadiyah dalam disertasi berjudul Gerakan Civil Society Komunitas Islam Marjinal: Kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Auditorium Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada selasa (3/6) lalu.

Catur menjelaskan bahwa menuju sebuah masyarakat madani terdapat dua jalur. Pertama melalui jalur politik, yang mana dengan membangun partai politik akan mampu membangun masyarakat dan mengikat mereka dalam satu ideologi tertentu. Kedua melalui jalur personal dengan basis kebudayaan dan pendekatan nilai-nilai kemasyarakatan, yang mana langkah ini menjadi pilihan Jemaat Ahmadiyah Indonesia hingga sekarang. “Akan sangat signifikan sekali apabila Ahmadiyah membangun suatu kekuatan politik layaknya NU ataupun Muhammadiyah di masa lalu. Namun pendekatan personal berbasis kebudayaan dan nilai masyarakat menjadikan Ahmadiyah lebih santun. Faktanya, banyak sekali tekanan yang dialami oleh Ahmadiyah namun tak membuat mereka bubar, malah dukungan menjadi lebih besar dan jumlah yang diba’iat menjadi anggota terus bertambah”, jelasnya.

Apa yang dialami oleh penganut Ahmadiyah sesungguhnya sangat ironis ketika bangsa Indonesia sedang menapaki langkah demokrasi. “Munculnya reformasi di Indonesia menghadirkan penghargaan yang begitu tinggi terhadap pluralisme dan hak asasi manusia, namun di masa reformasi pula Jemaat Ahmadiyah Indonesia justru mengalami tekanan yang lebih besar”, ungkap Prof. Dr. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia. Kondisi ini dikritik oleh Catur dengan menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya belum siap dengan nilai-nilai demokrasi. Adanya bias mayoritas dalam setiap keputusan pemerintah terhadap kasus-kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia menjadikan persoalan ini tak kunjung selesai. “Bahkan, tekanan yang muncul membuat Jemaat Ahmadiyah Indonesia terpaksa mengubah pola dakwah mereka”, jelasnya.

Prof. Dr. Bambang Pranowo, guru besar Sosiologi Islam UIN Syarif Hidayatullah mengkritik perilaku eksklusif pada komunitas penganut Ahmadiyah di Indonesia. Menjawab hal tersebut, Catur menyarankan agar Ahmadiyah mencoba untuk lebih inklusif ke dalam masyarakat. “Budaya toleransi yang membaur dengan masyarakat secara nyata menunjukkan keberhasilannya dalam membangun civil society. Lagipula tak ada yang perlu dibedakan antara Ahmadiyah dengan muslim lainnya, hal ini dapat dilihat dari syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji yang sama dengan umat Islam pada umumnya”. Hanya saja Catur mengakui bahwa proses inklusif masih menjadi proses yang belum mewujud dalam masyarakat penganut Ahmadiyah. “Menyangkut keyakinan, tidak mudah untuk menjalankan proses inklusif tadi. Perlu adanya ketokohan yang mampu memberi edukasi kepada masyarakat, seperti tokoh Muhammadiyah yang bersedia untuk menjadi makmum seorang nahdliyyin ketika shalat.”, tuturnya.

Prof. Dr. Azyumardi Azra mengingatkan, “dalam teori sosial masyarakat, sikap eksklusif sebuah komunitas akan mempersempit peluang untuk menjadi masyarakat madani”. Selanjutnya, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu menjelaskan bahwa NU dan Muhammadiyah mampu menjadi masyarakat madani karena sikap inklusif yang mereka ambil. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Prof. Dr. Bahtiar Effendy yang menyatakan bahwa keberhasilan dua institusi Islam itu membangun komunitas masyarakat disebabkan peranannya di segala aspek kehidupan masyarakat. “Tidak hanya persoalan fiqh dan aqidah individu personal saja”, tambah Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Menjawab pernyataan tersebut, Catur menegaskan tentang sikap kooperatif yang akan menjadi kunci menuju sikap inklusif. “Ahmadiyah mampu menurunkan eskalasi konflik dengan mengikuti aturan yang berlaku. Teror yang dialami oleh penganut Ahmadiyah tak pernah dibalas dengan tindakan main hakim sendiri, melainkan dengan melaporkannya kepada aparat dan mengikuti mekanisme hukum yang ada. Efek dari sikap tersebut menjadikan Ahmadiyah semakin kuat di dalam dan mengesankan ketaatan terhadap negara, walaupun terjadi bias mayoritas dalam setiap keputusan hukum yang diambil oleh pemerintah.”, tambahnya.

Dalam promosi doktor tersebut, Catur Wahyudi berhasil mendapatkan predikat cumlaude dan berhak menyandang gelar Doktor Pengkajian Islam di bidang Antropologi dan Sosiologi Agama. Hadir sebagai penguji antara lain Prof. Dr. Zulkifli, guru besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, rektor UIN Malik Ibrahim Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline