Lihat ke Halaman Asli

Peri-peri Mengambil Nyawa Kami

Diperbarui: 24 Juli 2017   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di serambi masjid sebelah utara, aku duduk. Setelah berjamaah shalat ashar, aku memang biasa nongkrong sambil melamun di teras masjid. Kadang di sebelah utara, kadang selatan atau timur. Sesuai kenyamanan hati saja.

Langit mendung. Kelabu pekat. Sejurus lagi, pasti hujan. Aku senang melihat langit. Apapun keadaannya, menurutku, langit selalu indah untuk ditatap.

Tiba-tiba nampak di langit itu, gumpalan awan robek. Seperti ada sesuatu yang menembusnya dari angkasa. Sesuatu yang bercahaya tapi bukan cahaya menelusup dari awan menuju ke arahku. Sesuatu yang aneh, dengan kecepatan luar biasa meluncur ke hadapanku.

Dengan setengah takut, aku sudah berhadapan dengan barang yang ternyata adalah manusia, tapi bukan manusia. Perempuan, tapi bukan perempuan, bersayap, tapi pasti bukan siluman burung.

Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa malaikat itu bersayap, tapi sumpah mati, sedikitpun aku tak menganggap orang yang bukan orang di depanku ini adalah malaikat. Dia lebih mirip peri yang hanya kuanggap merupakan tokoh rekaan orang-orang berimajinasi tinggi. Peri-peri yang biasa muncul di berbagai penampakan dalam karya seni. Atau peri-peri yang didongengkan pujangga.

Aku akui, angkat dua jempol, bahwa perempuan yang bukan perempuan di hadapanku ini indah, teramat indah. Dia bugil. Rambutnya panjang berwarna emas, dadanya besar berisi ranum gagah, kelaminnya tak berambut, badannya putih bersih, sayapnya dua helai kiri-kanan. Setiap helai terbagi atas dan bawah, yang bagian atas lebih lebar dua kali dari yang bawah, dengan warna emas keperakan. Kaki jenjang belalang, tubung langsing dan berhidung mancung nan  jelita.

"Ikut aku," dia membuka percakapan dengan kurang sopan sebab tak memerkenalkan diri. "Kamu siapa?" aku bertanya ramah.

"Aku adalah peri. Aku memimpin sepasukan peri-peri yang berjumlah ribuan. Kami turun ke bumi untuk menjemput orang-orang sepertimu," jawab dia.

"Ribuan?" aku hanya melihat dia sendirian, berdiri tapi bukan berdiri di hadapanku. Kakinya tidak menyentuh tanah. Sayapnya bergerak-gerak pelahan, nampaknya sayap itulah yang memertahankannya tetap mengambang di udara.

"Pasukanku tak kemari. Mereka menyebar ke pelosok bumi, mencari dan menjemput orang-orang sepertimu. Setiap peri menjemput seorang,"

"Orang-orang sepertiku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline