Lihat ke Halaman Asli

Cahyo Budiman

Orang biasa

Nobel, Antara Jenius dan Beruntung

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1350025806840644515

[caption id="attachment_211173" align="aligncenter" width="400" caption="www.konservapedia.com/Nobel_Prize"][/caption] Setiap tahun di bulan Oktober, kita akan disajikan daftar orang-orang jenius di dunia yang meraih penghargaan sains paling bergengsi, Nobel! Penghargaan bernilar jutaan dolar yang dikelola oleh Nobel foundation tersebut diberikankepada para ilmuwan atau tokoh yang dianggap memberikan kontribusi luar biasa dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (kedokteran, kimia, fisika, ekonomi dan sastra) dan perdamaian. Hingga tulisan ini dibuat, para jenius di bidang kedokteran, kimia dan fisika telah di umumkan. Dalam hitungan hari, daftar orang jenius tersebut akan bertambah dengan diumumkanya pemenang di bidang ekonomi, sastra, dan perdamaian.

Pertanyaanya, benarkah para peraih nobel tersebut adalah kelompok orang-orang jenius??

Tentu saja jawabanya “ya!”. Tapi faktanya ternyata, kejeniusan saja (kadang) tidak cukup untuk menjembatani para peneliti menuju Stockholm, tempat diberikannya penghargaan Nobel. Fakta empirik rupanya menunjukkan bahwa kejeniusan tersebut membutuhkan “kombinasi” lainnya,… Luck ! . Ada banyak kisah menarik yang menunjukkan ternyata luck alias keberuntungan dan bahkan kebetulan berperan sangat amat besar  bagi temuan sang peneliti tersebut.

Prof. Shinya Yamanaka, peraih penghargaan Nobel bidang kedokteran tahun ini, bisa jadi contoh paling anyar. Keberuntungannya dimulai dari “keputusasaan” peneliti post-doct nya, Dr. Kazu Takahashi, yang sedang mengidentifikasi 24 kandidat gen penentu sifat pluripotensi pada sel. Satu persatu dicoba tapi hasilnya negatif. Diulang lagi percobaanya, masih juga tanpa hasil. Ditengah keputusasaanya, sang post-doct “asal” mencampur saja kedua puluh empat gen itu untuk menginduksi sel. Cara ini menurut Prof Yamaka, dalam presentasinya di Institut Kesehatan Nasional (NIH) AS awal tahun 2010, adalah stupid ! Meski demikian Prof. Yamanaka mengakui keheranannya saat itu dia tidak menghentikan "kebodohan" sang post-doct. Dan pembiaran itu justru membuahkan hasil mencengangkan, pola "campur sari" Dr. Takahashi malah memberikan hasil positif. Dari hasil itu dia kemudian bisa mengidentifikasi 4 gen yang penting dalam induksi sel punca. Hasil tersebut kemudian dipublikasi di jurnal Cell tahun 2006. Dunia tercengang dan sejarah induced pluripotent cell akhirnya mulai berceloteh. Ya, andai dia larang mungkin cerita sel punca tidak se-revolusioner seperti sekarang.

Melompat jauh ke belakang, kita punya Alexander Fleming, sang penemu antibiotik penisilin. Dalam bukunya Baruch A Shalev, pakar genetika Israel, bahkan menyebut Fleming sebenarnya biasa saja, jauh dari kategori jenius. Masih menurut Shalev, faktor yang membuat dia melenggang ke Stockholm untuk meraih penghargaan Nobel adalah keberuntunganya yang luar biasa. Risetnya di awal sama sekali tidak bersinggungan dengan jamur Penicillium notatum. Alih-alih berkutat dengan sang jamur, saat itu dia sedang sibuk meneliti lendir hidung yang ternyata memiliki sifat antibakteri.

Keberuntungannya dimulai dari kejadian di musim panas tahun 1928, ketika dia mengolesi kaca objek mikroskop dengan bakteri patogen Staphylococcus yang memang menjadi objeknya untuk mengamati sifat antibakteri lendir hidung tersebut. Tapi entah disengaja atau tidak, dia menghentikan pekerjaanya lalu kaca objek mikroskop tersebut dia geletakan begitu saja di lab nya selama dua minggu untuk…… liburan ! Pulang liburan, rupanya dia melihat kaca objeknya berjamur. Hal yang wajar karena kontaminasi selama dia pergi liburan. Tapi yang menarik perhatiannya, disekeliling jamur itu ada zona bening yang tidak ditumbuhiStaphylococcus. Ketika spora jamur tersebut diamati, rupanya jamur tersebut termasuk varian langka bernama Penicillium notatum. Dari mana flora itu bisa nempel di kaca objek-nya Fleming? Rupanya terbang dari dari lab tetangganya yang memang bekerja dengan banyak jenis jamur. Fleming kemudian menduga sang jamur memiliki cairan khusus yang memiliki sifat antibakteri karena bakteri patogen tidak tumbuh di sekeliling jamur tersebut. Dinamakanlah cairan itu sebagai penisilin karena berasal dari jamur Penicillium. Temuan ini dia publikasikan di British Journal of Experimental Pathology tahun 1929.

Cerita menjadi “konyol” karena alih-alih meneliti lebih jauh tentang penisilin tersebut, Fleming justru berhenti mengamatinya dan membuang spesiemnya di tahun 1932. Tapi lagi-lagi, keberuntungan berpihak ke Fleming. Kelompok peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, keburu menyelamatkan spesimen tersebut. Dr. Howard Florey dan Dr Eernest Boris Chain adalah anggota tim tersebut yang kemudian melanjutkan penelitian mengamati penisilin yang dihasilkan sang jamur. Riset mereka menunjukkan kemampuan penisilin yang bisa menanggulangi berbagai jenis infeksi. Perang dunia ke dua adalah momen pertama dimana penisilin berhasil menyelamatkan jutaan korban perang saat itu. Tahun 1945, Fleming, Florey dan Chain diganjar Nobel bidang kedokteran-fisiologi. Rentetan keberuntungan Fleming hingga kini telah menyelamatkan jutaan manusia dari berbagai infeksi lewat antibiotik penisilin.

Penemu struktur double-helix DNA, Crick dan Watson memiliki cerita keberuntungan yang lain lagi. Menurut Watson, keberuntungan dimulai saat tanpa angin tanpa hujan koleganya Maurice Wilkins datang ke laboratiumnya. Kedatanganya kali ini lain, karena dia membawa (versi lain dia mencuri) gambar difraksi X-ray dari DNA hasil pekerjaan koleganya, Rosalind Franklin. Wilkins yang memang pakar X-ray, terkejut dan mulutnya menganga lebar ketika melihat hasil kerjaan Franklin. Menurutnya, kualitas difraksi dari Franklin sangat luar dengan resolusi tinggi. Bahkan hanya dengan melihat pola difraksinya saja, Watson bisa melihat struktur heliks pada DNA dan membayangkan struktur 3-dimensinya. Dengan cepat, Watson dan koleganya Crick memproses data tersebut dan mengusulkan struktur 3D DNA yang hingga sekarang sangat terkenal. Terbukanya struktur DNA merevolusi banyak bidang ilmu pengetahuan untuk menghasilkan banyak temuan yang bermanfaat bagi manusia. Tahun 1962, Watson, Crick dan Wilkins di ganjar Nobel bidang kedokteran-fisiologi. Bagaimana dengan Franklin, yang justru menghasilkan gambar X-ray ? Franklin meninggal dunia tahun 1958, sebelum Watson dan Crick menyelesaikan “gambarnya”. Franklin bukan saja tidak mendapatkan penghargaan Nobel, karena Nobel tidak diberikan pada penemu yang sudaf wafat (posthumously), dia juga tidak sempat menyaksikan struktur DNA yang berhasil dipecahkan Watson dan Crick pasca wafatnya.

Kembali ke Jepang, cerita keberuntungan Prof. Hideki Shirakawa bisa kita jadikan penutup. Prof. Shirakawa meraih Nobel kimia tahun 2000 atas penemuannya dan pengembangan konduktivitas polimer (plastik).  Seperti kebanyakan orang, Prof. Shirakawa juga awalnya meyakini bahwa bahwa plastik memang bukan konduktor arus listrik, tidak seperti logam yang mudah menghantarkan arus listrik. Pikiranya berubah ketika mahasiswanya melakukan “kesalahan” eksperimen. Mahasiswanya yang sedang memanaskan plastik untuk pengamatannya tanpa sengaja memanaskannya dengan temperatur jauh lebih tinggi dari panduan eksperimennya. Kesalahan ini rupanya membuat plastik menjadi lebih konduktif ketika diamati berikutnya. Temuan ini kemudian ditelusuri lebih jauh oleh grup Prof. Shirakawa sehingga akhirnya menghasilkan banyak informasi dan temuan penting terkait daya hantar bahan polimer. Di masa sekarang, kesalahan “masak plastik” tersebut bisa kita rasakan manfaatnya diberbagai industri. Panel surya dan telepon seluler adalah contoh kecil bagaimana sifat konduktivitas plastk tersebut dimanfaatkan.

Tentu saja masih banyak cerita-cerita lainnya, bagaimana luar biasanya efek kejeniusan dan keberuntungan dalam riset. Tentu saja mungkin masih banyak kombinasi lainnya yang mendorong keberhasilan tersebut. Dan pada akhirnya banyak diantara kita yang merasakan manfaat dari kombinasi-kombinasi dua hal (atau lebih) tersebut di dunia nyata.

Kita bisa saja melihat luck tersebut dari berbagai sisi, termasuk sisi teologis sekalipun. Sehingga mungkin nilai cerita akan menjadi berbeda-beda, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tapi yang pasti, meminjam quote dari sastrawan Rusia,  “luck is not as random as you think !”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline