Lihat ke Halaman Asli

Cahyo Budiman

Orang biasa

Psikologi Massa Follower Poconggg

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mikrobloging twitter hari ini (sejak semalam sebenarnya) menjadi ramai dengan ‘terbongkarnya’ (saya beri tanda kutip karena masih belum terkonfirmasi) indentitas pemilik akun @poconggg , sebuah akun anonim populer dengan pengikut (follower) lebih dari 700 ribu. Tulisan ini akan menjadi panjang jika saya paparkan lebih jauh disini tentang akun tersebut. Bagi para pembaca, silahkan telusuri sendiri lewat media-media yang ada. Keramaian makin menjadi-jadi dengan kebungkaman sang pemilik akun (hingga tulisan ini dibuat) yang menyebabkan ragam reaksi bermunculan dari ribuan follower –nya. Tidak heran juga, topic ber-tagar (hastag) #WELOVEPOCONGGG , langsung melejit di daftar Trending Topic, yang merupakan ekspresi kekhawatiran para follower dengan kondisi psikologis sang pemilik akun pasca indentitasnya terbongkar. Inilah yang merangsang saya untuk menulis ini. Bukan tentang siapa pemilik akun anomin tersebut, tapi pada transisi perilaku massa yang sangat nyata ditunjukan oleh para follower poconggg. Dan proses perubahan perilaku ini (transisi) menjadi menarik untuk dipotret secara sosiologis karena jarang sekali proses transisi terjadi karena isu-isu yang non sistem (baik politik maupun ekonomi). Secara sosiologis, poconggg berhasil membangun perilaku massa yang begitu dinamis dan kohesif. Dan ini terjadi karena dua hal: pertama, poconggg melakukan efek penularan (social contagion theory) dimana follower saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua, poconggg menghilangkan “jati diri” follower hingga mereka melebur satu sama lain menyatu ke dalam jiwa massa (deindivuation theory). Histeria follower poconggg (yang disebut dengan pocong madness) yang terjadi di Citos berbulan-bulan lalu menunjukan leburnya ‘jati diri’ para follower. Mari kita telisik para follower tersebut dari sisi sosiologis. Dari sekedar kerumunan (crowd) Saya berani menyimpulkan bahwa follower pocongg pada awalnya hanya bersifat “kerumunan” (crowd) saja secara sosiologis. Yakni mereka yang secara kebetulan membentuk agregasi (kumpulan) yang mengitari satu sentral (poconggg) dan jumlahnya makin lama makin meningkat. Perilaku individu poconggg yang cenderung lentur dengan para follower-nya membuat dia sebagai titik pusat kerumuman menjadi permeable (mudah didekati dan mendekati), akhirnya jarak antara pusat (poconggg) dan lingkaran (follower) makin memendek, kerumunan makin kohesif. Inilah (saya kira) proses awal terbentuknya hubungan yang begitu dekat dan akrab antara poconggg dan follower-nya. Kelenturan poconggg dibangun oleh sikap humorisnya yang tinggi yang (kebetulan) sesuai dengan psikologi para follower nya. Akhirnya radius lingkaran menyempit, jembatan psikologi antara poconggg dan follower nya terbangun dengan kokoh. Sebuah sebuah kumpulan, follower pocongg di awal saya yakin hanya “sebuah” expressive crowd (kerumunan ekspresif) semata, tanpa kesamanaan ideologi. Bentuk kerumunan ekspresif ini bisa juga kita temukan pada kelompok massa yang sedang menikmati konser musik, nonton film, dan sejenisnya. Titik lingkaranya satu: musik atau film. Ketika titik lingkaran itu buyar (dengan berakhirnya konser atau film), maka buyar pula kerumunan disekilingnya. Inilah bentuk perilaku sosial dari follower poconggg di awalnya, sebuah kerumunan ekspresif semata yang secara teori mudah sekali “dibuyarkan” dengan memberangus titik pusat kerumuman. Hipotesis “expressive crowd” juga dikuatkan dengan sebaran usia follower-nya yang rata-rata tergolong “abege”, secara psikologis cenderung ekspresif dibanding dengan kelompok umur yang lebih tua. Antara Solidaritas dan Kepanikan Tetapi bentuk kerumunan ekspresif yang dilabelkan pada para follower dibuyarkan dengan upaya pembongkaran identitas pemilik akun poconggg. Mahfum diketahui bahwa sang pemilik akun memang selama ini menutupi dirinya dari publik. Terbongkarnya identitas dia (jika ini benar) jelas akan membuat psikologisnya terpengaruh dan kemudian berimbas perilaku sosialnya. Inilah yang saya kira ada dalam benak para follower poconggg. Jika benar perilaku sosial poconggg berubah, maka implikasinya bisa sangat ekstrem: poconggg berhenti dari dunia mikrobloging twitter dan kemudian menonaktifkan akunnya. Maka perilaku massa follower poconggg kemudian terbelah menjadi dua: pertama, perilaku yang dibangun atas bentuk solidaritas sehingga kemudian membentuk solidaristic crowd. Kerumunan ini merasa simpati dan empati dengan psikologis sang pemilik akun yang terbongkar identitasnya. Jargon kelompok ini tegas : “siapapun anda, kami tetap mencintai anda”. Artinya, mereka akan menafikan siapa sosok dibelakang akun poconggg, mereka tetap akan memisahkan antara sosok tersebut dan poconggg. Sedikit ekstrem, tapi adegan di film Spiderman 2 bisa kita jadikan contoh menarik. Ketika Sang Hero mencoba menyelamatkan kereta api pasca pertempuran sengit dengan Dr. Oct. Setelah berhasil menyelamatkan ratusan nyawa penumpang kereta, Sang Hero terkapar dengan keadaan tidak memakai topeng. Wajahnya secara bebas terekspos dan terlihat oleh para penumpang. Tiada lagi kerahasiaan. Wajah Peter Parker akhirnya diketahui dibalik topek si manusia laba-laba tersebut. Tapia pa yang terjadi kemudian, penumpang dalam gerbong membentuk solidaristic crowd, mereka faham begitu berharganya kerahasiaan identitas bagi Peter Parker. Mereka memilih mengembalikan topeng Sang Hero, mengembalikan kerahasiaan. Meski wajah Peter Parker sudah mereka rekam, tapi mereka secara legowo menghilangkan memori itu dan menganggap Sang Hero tetaplah sebuah misteri. Dan inikah yang dilakukan follower poconggg ? mereka menghapus memori (atau tepatnya menafikan) tentang sosok siapapun dibalik ‘topeng’ poconggg dan menganggap ‘lemper hidup’ itu sebagai bagian dari misteri di dunia twitter. Kedua, perilaku follower poconggg juga tidak lepas dari kepanikan mereka. Kepanikan ini muncul jika perilaku sosial poconggg berakibat pada penonaktifan akun tersebut. Tentu saja bagi para follower ini bencana (disaster) buat mereka. Ikatan pusat-lingkaran yang selama ini sudah terjalin begitu kuat menjadi begitu bom emosi yang cukup untuk membangun ledakan kepanikan di tengah follower. Dan secara teori, disaster-lah pemicu utama terbentuknya perilaku panik ditengah masa sebagai bentuk reaksi terhadap bahaya yang muncul. Jika modus kepanika ini benar, maka perilaku kolektif dari follower pocong mengalami transisi yang cukup drastic secara sosiologis, dari sekedar kerumunan menjadi sebuah perilaku yang didasari atas kesamaan ketakutan terhadap sebuah “disaster”. Implikasinya, kohesivitas massa akan makin meningkat, karena mereka memiliki sumber ancaman dan ketakutan yang sama yang kemudian secara kolektif bersama-sama mereka singkirkan. Tentu saja menarik untuk dilihat perilaku massa follower poconggg jika disaster itu benar-benar terjadi. Yang pasti, mereka tentu saja akan berusaha mencegah bencana itu benar-benar terjadi sambil kembali membangun psikologi sang pemilik akun. Semua teori ini tentu saja berlaku jika kerahasiaan poconggg benar-benar terungkap. Jika ternyata tidak benar, tentu saja rumusan sosiologisnya akan lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline