[caption id="attachment_96501" align="aligncenter" width="373" caption="[http://m.antaranews.com/berita/250621/jepang-dukung-serangan-di-libya"][/caption]
Melihat gejolak Libya saat ini mengingatkan saya pada presentasi Prof. Ken Miichi, professor ilmu politik dari Iwate Prefecture University, Jepang, dalam sebuah simposiumdi Doshisha University, Kyoto, Jepang beberapa waktu lampau. Sang Professor yang fasih berbahasa Indonesia itu memaparkan hasil risetnya bersama Lembaga Survey Indonesia (LSI) terkait persepsi masyarakat Indonesia terhadap demokrasi, berbarengan dengan analisis beliau tentang partai-partai Islam di Indonesia. Hasilnya (yang bagi saya tidak mencengangkan), penduduk Indonesia lebih memilih sistem demokrasi ketimbang sistem lainnya, termasuk sistem yang 'berbau' agama (kerajaan, negara Islam dan lainnya). Ada pergeseran (juga menurut beliau) masyarakat Indonesia yang menjadi lebih 'terbuka' atau bahkan 'sekuler' yang juga diindikasikan dengan penurunan perolehan suara partai-partai 'berbau' agama dalam pemilu-pemilu terakhir. Benarkah? Sayangnya, saya tidak mendapat jawaban memuaskan ketika saya meminta data terkait seberapa dalam pemahaman masyakarat terhadap demokrasi atau sistem lainnya. Karena bagi saya tingkat pemahaman ini yang kemudian menentukan preferensi mereka. Apa sih demokrasi yang mereka fahami? Apa sih monarki yang mereka fahami? Apa sih negara Islam yang mereka fahami? Jangan-jangan, demokrasi hanya difahami sebagai batasan "kebebasan berpendapat", "kepemilihan hak untuk dipilih dan memilih", "pengakuan terhadap hak asasi manusia", dan seterusnya. Lalu pemahaman yang (maaf) sempit ini menegasikan semua sistem diluar demokrasi sebagai sistem yang "anti kebebasan berpendapat" , "memangkas hak-hak politik warga negara", "memberangus hak asasi warga negara", dan seterusnya. Maka wajar, konsep negara Islam (misalnya) oleh mereka dianggap sama dengan negara-negara komunis, kerajaan, monarki, penguasa diktatordan sejenisnya. Dan harus diakui, pemahaman seperti ini sudah secara 'latah' dianut oleh banyak diantara kita. Saya sebut saja ini dengan fenomena: "latah demokrasi". Yang tidak setuju, silahkan saja. Jika benar bahwa pemahaman masyarakat tentang demokrasi hanyalah sebatas itu maka wajar saja data Prof. Miichi menampilkan trend demikian. Tapi, semestinya data ini dibaca lain dengan melihat 'salah kaprahnya' pemahaman masyarakat tersebut. Data tersebut mesti dibaca sebagai keinginan masyarakat terkait sebuah sistem di tengah kehidupan mereka yang menjamin hak-hak politik, kesejahteraan, ketentraman, dan sejenisnya. Tapi kita latah mendefinisikan bahwa jaminan hak-hak politik (misalnya) hanya ada dalam sistem demokrasi (dengan adanya hak memilih dan dipilih, pembatasan kepemiminan dan sejenisnya). Kita juga latah menarik simpulan bahwa jaminan kesejahteraan dan ketentraman hanya bisa dibangun lewat demokrasi (karena 'konon' sistem ini dikenal sebagai sistem yang anti KKN, anti kekerasan dan pro hak asasi manusia). Dan saya menangkap, Prof. Miichi pun mengidap 'latah' yang sama sehingga tidak bisa membaca lebih jauh di balik data temuan beliau dan secara serampangan me-negasi-kan sistem-sistem diluar demokrasi. Padahal, sistem diluar itupun bisa memberikan jaminan-jaminan yang sama bahkan bisa jadi jauh lebih baik. Lalu apa hubungannya dengan Libya? Sederhana, konflik-konflik di Timur Tengah, termasuk Libya bagi saya hanya dibangun oleh dua arus besar isu: demokrasi dan minyak ! Rakyat Libya (juga sebelumnya Tunisia dan Mesir) sebenarnya 'gerah' dengan pemimpin mereka yang bertindak secara diktator, memelihara praktik-praktik korupsi, dan praktik-praktik negatif lainnya. Cilakanya, lagi-lagi kita 'latah' dengan mendefinisikan bahwa tindakan-tindakan sang pemimpin tersebut sebagai 'anti demokrasi', seolah-olah cuma demokrasi yang menentang kediktatoran, korupsi, kekerasan terhadap warga negara, dan sejenisnya. Padahal, bagi saya ini common sense ataunilai-nilai universal yang juga (bisa jadi) dianut oleh sistem lainnya di luar demokrasi. Antikorupsi, antikekerasan dan anti kedikatoran bukan cuma monopoli demokrasi ! Kelatahan ini cilakanya kemudian digunakan dalam 'menerjemahkan' keinginan rakyat Libya (atau Timur Tengah lainnya). Kita kemudian dengan percaya diri menerjemahkan gejolak politik tersebut sebagai tuntutan pembangunan sistem demokrasi di negara kaya minyak tersebut. Ini juga yang dipakai oleh pasukan koalisi AS dan mitranya yang 'seenak perutnya' sendiri memborbardir Libya. Alasanya sama dengan para kaum latah: membela dan menyelamatkan tuntutan demokrasi di Libya ! Selain itu tentu juga ada kepentingan besar untuk membangun hegemoni negara-negara demokrasi secara luas dan masif di planet ini. Hegemoni ini jelas akan menguntungkan diberbagai sisi, termasuk ekonomi (disini kemudian isu minyak bisa mulai dibahas, tapi saya kesampingkan dulu isu ini karena bisa panjang.) Pertanyaan saya: apa iya rakyat Libya itu sebenarnya 'meminta' demokrasi? Sungguh saya tidak menangkap hal itu dalam pikiran dangkal saya. Bagi saya, mereka hanya butuh jaminan kemanan, kesejahteraan, pemulihan hak-hak politik, dan nilai-nilai universal lainnya. Mereka ingin pemimpin yang bisa membangun dan memulihkan itu semua. Mereka ingin ada sistem yang bisa membawa mereka pada kondisi kehidupan yang lebih baik. Itu yang saya tangkap. Dan bagi saya itu bukan berarti mereka menginginkan demokrasi, karena sistem diluar demokrasi pun bisa memberikan tumpukan solusi bagi keinginan mereka. Sama halnya dengan masyarakat kita yang memiliki 'hasrat' yang sama, yakni jaminan nilai-nilai universal tersebut. Dan ini jelas bukan 'hasrat' demokrasi. Kecuali jika kita mau ikut-ikutan latah tentang demokrasi (seperti Prof. Miichi), silahkan saja latah mengartikan keinginan mereka sebagai 'keinginan berdemokrasi' di Libya, Indonesia, Mesir, Tunisia atau dimanapun. Bahkan kebodohan saya pun 'berontak' untuk tidak ikut-ikutan latah seperti itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H